Ternyata begini rasanya dicintai Rodie.Sebagian besar orang menganggapnya dingin tak tersentuh. Dulu aku juga menganggapnya demikian. Dia tidak begitu mempedulikan orang sekitar. Sampai aku merasa... dilirik Rodie meski sedetik adalah anugrah. Bisa diingat kepala jeniusnya saja, aku sudah merasa sangat beruntung. Sebab kepedulian dari orang yang tidak peduli itu mahal harganya.
Seringkali aku mendengar wanita merengek-rengek manja memanggil namanya,
"Prof Rodie, Prof Rodie~ Sekarang keliatannya lebih seger ya. Wajahnya awet muda. Enak dilihat."
Tapi Rodie hanya tersenyum tipis, dan melenggang pergi tanpa menanggapi ucapan ibu-ibu itu.
"Prof Rodie~ saya bawa saudara saya buat diperiksa Prof Rodie~"
Rodie juga hanya terdiam, mematikan topik.
Dia lelaki yang tidak gampang tertawa. Apalagi memulai pembicaraan lebih dulu. Rasanya mustahil seorang Rodie melakukan hal itu.
Tapi ajaibnya, semua kemustahilan itu justru menjadi mungkin untukku. Sampai ke titik aku memandang Rodie sebagai si mata keranjang.
Ketika aku diam, Rodie justru jadi orang yang membuka percakapan, "Gimana nenek kamu kemarin yang saya periksa? Udah mendingan?"
"Udah."
"Syukur kalau begitu. Minggu depan kontrol lagi ya. Sekarang kamu mau makan apa?"
Dia terus saja menyambung topik kalau aku hanya menjawab satu kata. Terkadang dia menanyakan hal yang sama berulang-ulang hanya untuk bisa bicara lebih lama denganku.
"Hari ini kita makan sayur sop ayam," jawabku untuk kedua kalinya dalam sehari.
"Oh, iya, Sayang."
Sebetulnya hingga detik ini aku masih tidak mengerti, kenapa orang seperti Rodie bisa jatuh cinta padaku. Rasanya seperti percaya tidak percaya, seorang profesor yang tampan, pintar, seorang bintang, bisa menyukaiku. Tapi Rodie selalu menjawab, katanya... aku tipe Rodie sekali.
Malam ini kami duduk di jok tengah, sementara mobil melaju dikendarai supir, membelah kemacetan kota Bandung.
Aku bersandar di dada Rodie yang hangat sembari melihat ketikan pesan yang Rodie buat di ponselnya. Dia sedang membalas konsul para juniornya dengan serius.
Sejak dulu aku selalu menantikan momen seperti ini. Ketika terjadi, ternyata rasanya menenangkan seperti yang kubayangkan.
Sesekali dia mengusap lenganku, atau menciumiku. Dia selalu bisa mengambil kesempatan kalau denganku, sampai-sampai aku bisa menanggapnya lelaki modus, lelaki kardus, lelaki kampret. Terkadang aku juga masih heran, kenapa lelaki dingin ini bisa sangat terobsesi padaku.
Begitu tiba di rumah, Rodie melepaskan maskernya di atas meja dalam kamar kami. Kami lantas mandi bersama dengan air hangat seperti sebuah ritual rutin.
Selepas itu, sementara Rodie masih sibuk mengenakan pakaian, aku sudah siap dengan baju tidurku, hendak berjalan ke meja makan untuk menyiapkan makan malam.
Akan tetapi langkahku terhenti ketika melewati meja dalam kamar kami. Sebuah meja kerja kecil tempat Rodie atau pun aku biasa mengerjakan tugas. Aku melihat masker bekas Rodie tergeletak di situ. Aku tergerak untuk meraihnya, lantas mencium bagian dalam masker untuk mengetahui apakah bekas mulut Rodie ini bau atau tidak. Perlahan aku mengendus-endusnya. Ajaibnya, aku tidak mencium bau busuk apa pun.
"Ngapain?" tanya Rodie.
Aku menoleh, melihat Rodie memandangku di tengah geraknya mengenakan baju tidur. Dia sampai berhenti sejenak hanya untuk bertanya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
RomanceAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023