Uang belasan juta yang dijanjikan tidak kunjung kudapatkan.Aku mulai bertanya-tanya artinya. Apakah Tuhan sedang memberikanku isyarat bahwa aku tidak akan mendapatkan uang, tapi itu artinya aku akan mendapatkan... lelaki yang kuinginkan?
Aku buru-buru mengenyahkan pemikiran itu.
"Ehm."
Rodie melintas di hadapanku dan Romeo sembari berdeham. Aku hanya terpaku melihatnya dengan pemikiran kosong. Lelaki itu berderap cepat, dengan ujung mata yang sempat melihat ke arahku dan Romeo selama beberapa detik.
Rodie sepertinya sedang tidak enak tenggorokan. Suaranya terdengar serak sampai dia harus berdeham berat ketika melewat. Meski begitu, bisa-bisanya aku berpikir kalau suara dehamannya seksi.
"Dok, dipanggil Prof Rodie," kata Enin Rini pada Romeo.
Dengan sigap pemuda itu bangkit dari kursinya di sebelahku. Dia melangkah ke ruangan Rodie dengan langkah yang kelihatan segan, seperti seorang anak yang ditegur guru.
Tak lama Romeo di dalam ruangan sang ayah. Setelahnya dia keluar dengan langkah cepat. Romeo meraih tas kecilnya di ruangan, lantas bergegas pulang.
"Duluan ya, Teh Na!"
"Oh? Iya. Hati-hati di jalan, Dok."
Romeo langsung pulang, padahal aku ingin tahu apa yang dikatakan Rodie padanya. Apa boleh buat.
Hari ini Enin Rini tidak terlalu banyak berulah. Sebenarnya aku menyimpan curiga pada wanita itu. Melihat Rodie yang sangat abai padaku, terkadang membuatku berpikir bahwa itu disebabkan oleh Enin Rini. Bisa saja Enin Rini memberikan informasi jelek tentang aku pada Rodie, sehingga Rodie memandangku buruk. Dan pada akhirnya Rodie tidak menganggap kehadiranku sama sekali seperti sekarang.
"Eh, Teh Nana. Tau nggak? Drakor kesukaan kita udah ada bocoran episode terbarunya!"
Itoh menunjukan layar ponsel. Kami tertawa-tawa kecil sambil melihat cuplikan drama yang dimaksud. Tentu karena pasien Rodie hari ini baru satu orang yang datang. Itu pun sedang diperiksa di dalam jadi keadaan sekitar tidak terlalu ramai.
"Heh! Nggak boleh ngomongin orang! DOSA!"
Aku dan Itoh langsung bubar ketika Enin Rini keluar dari ruangan Rodie. Dia menegur kami dengan mata melotot. Sedangkan aku dan Itoh hanya saling melirik. Aku antara sebal dan bingung mempertanyakan perkataannya.
Begitu Enin Rini masuk ruangan Rodie lagi, barulah aku kembali bicara dengan Itoh.
"Maksud dia apa, Toh?"
"Nggak tau. Aneh. Dia kira kita lagi ngomongin dia kali."
"PEDE banget. Padahal kita kan lagi ngomonngin drakor."
"Mungkin karena dia sering ngomongin orang. Jadi tiap ada yang lagi ngobrol-ngobrol gitu dia takut kalau dia juga diomongin."
"Hah?" Aku tercengang. "Jadi dia suka ngomongin orang?"
"Iya! Makanya dia ketakutan kayak gitu. Apalagi alasannya kalau bukan karena dia takut orang lain ngelakuin hal yang sama kayak yang dia lakuin!"
Keyakinanku bertambah. Jangan-jangan dia mengadukanku pada Rodie sampai Rodie tidak suka padaku. Tapi aku tidak terlalu yakin seratus persen. Sebab aku tahu, Enin Rini tidak mungkin seberani itu untuk tiba-tiba berkata hal tidak penting pada Rodie. Terlebih Rodie bukan tipe yang akan menganggapi hal remeh.
Aku tidak punya kesimpulan apa pun. Semuanya terlalu abu-abu, tapi yang jelas Enin Rini memang menyebalkan.
Aku mengembuskan napas panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
RomanceAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023