"Kehujanan?""Iya."
"Terus kenapa tadi tidak minta pulang naik mobil kalau gitu?"
"Nggak perlu gaslighting, Prof. Pertanyaan itu kesannya kayak aku yang salah karena nggak minta pulang naik mobil. Padahal Prof sama Yati udah pulang duluan waktu aku keluar ruangan. Gimana aku bisa minta? Diundang pun nggak. Kalian langsung pulang gitu aja. Terus sekarang Prof nanya seakan-akan aku yang salah karena nggak minta pulang naik mobil. Padahal Prof sendiri yang ninggalin aku. Itu namanya gaslighting."
"Nggak. Saya nggak gaslighting."
Dia membela diri dengan tampang tak berdosa. Seolah dia tak tahu menahu dengan hal yang menimpaku. Padahal aku yakin dia sadar ketika dia memutuskan pulang duluan dan meninggalkanku berkendara sendiri dalam keadaan hujan.
"Harusnya kamu minta ke saya untuk pulang naik mobil kalau memang kamu butuh. Selama ini kan saya selalu nawarin kamu buat pulang disupiri Pak Tarno, tapi kamu selalu menolak."
"Terus gimana? Jadi Prof ngajak Yati pulang bareng karena kasihan? Karena dia selalu pulang dan pergi naik kendaraan umum di Jakarta? Itu kan yang mau Prof bilang karena selama ini Prof selalu berdalih KASIAN sama Yati. Tapi nggak KASIAN sama aku."
"Nggak seperti gitu, Non."
"Buktinya udah jelas kok. Yati diantar pulang. Bahkan dikasih sendal jutaan supaya nggak jatuh dari angkot lagi. Prof bilang jangan kasih tau Ramina. Kenapa aku nggak boleh tau? Terus tadi malem gimana? Prof bilang sama Yati supaya nggak bilang Ramina juga kalau kalian pulang cepet duluan? Kayaknya aku juga harus kasih cerita sedih biar Prof kasian sama aku, ya."
"Nggak, Sayang. Saya nggak bilang gitu."
"Udahlah."
Aku tidak punya perkataan apa pun untuk mendebatnya karena sudah terlalu lelah. Rasanya percuma karena dia pasti akan tetap berkeyakinan bahwa dia benar, sementara aku salah. Jadi aku hanya bisa menangis dengan perasaan yang benar-benar hancur.
Aku sakit hati. Kalau memang Prof sengaja meninggalkanku, aku harap mobil itu hancur saja biar tidak bisa membuatku sedih lagi.
-o0o-
Hari ini aku dinas pagi. Selama beberapa hari ke depan aku juga sudah meminta rekan kerjaku untuk bertukar shift supaya aku selalu masuk pagi. Setidaknya selama seminggu ini sampai hatiku benar-benar pulih. Untuk sekarang aku tidak mau bertemu Rodie dan Yati dulu. Dengan dinas pagi, aku bisa segera pulang sebelum mereka datang.
Ketika jam menunjukkan pukul tiga sore, aku segera menyelesaikan pekerjaanku dan bergegas pulang. Kulangkahkan kaki di koridor rumah sakit dengan cepat, tapi langkahku seketika berhenti ketika melihat sosok Rodie di kejauhan. Refleks kakiku melangkah mundur kendati aku tak merencanakannya sama sekali. Kuambil jalan berbelok yang lebih panjang menuju parkiran demi menghindari Rodie.
"Non. Non!"
"Non!"
"Nona!"
Ketika aku menoleh, lelaki itu sudah ada di belakangku. Menyusul aku yang berbelok.
"Kenapa lewat sini?"
"Nggak apa-apa. Motor aku diparkir di gerbang utara soalnya." Padahal aku lewat sini karena tidak mau berpapasan dengannya.
"Oh...." Lelaki itu mengangguk kecil.
"Aku duluan."
Kubalikkan badan dan berjalan secepat mungkin sebelum orang-orang melihat kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
RomanceAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023