🌼36🌼

2K 317 86
                                    


Aku sedang dalam perjalanan pulang dengan mobil, sementara hujan lebat turun di luar sana.

Dari kaca jendela yang basah, aku melihat keadaan jalanan. Kendaraan berlalu-lalang dengan kecepatan tinggi, genangan air sepanjang jalan membentuk cipratan setiap dilintasi kendaraan. Petir sesekali terdengar dari langit malam yang gelap.

"Dulu aku selalu kehujanan kalau pulang kerja naik motor. Sekarang aku bisa duduk aman di dalam mobil. Makasih ya."

Rodie yang semula sibuk dengan ponselnya, kini menoleh padaku. Aku melihat dia tersenyum dalam gelap.

"Iya. Sama-sama."

Tidak kehujanan adalah hal yang sangat aku syukuri. Hatiku terasa sangat tenang setiap meresapi momen ini. Sekarang aku duduk di samping lelaki yang sangat aku cintai, dalam mobilnya yang dingin, menghirup wangi campuran bunga dan jok berbahan kulit.

Orang lain mungkin sudah biasa mengalami ini. Bisa jadi hal ini bukan sesuatu yang spesial bagi mereka. Tapi karena sebelumnya terbiasa menderita, aku jadi sangat menghargai hal sederhana yang kudapatkan ini.

Kurebahkan kepalaku di atas pundak Rodie sembari mengaitkan lengan kami. Kugenggam tangannya yang terasa hangat. Kunikmati detik demi detik yang berlalu dengan penuh syukur.

Bisa bersamanya adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Bahkan aku masih tidak menyangka kalau melihat handuk kami tergantung di belakang pintu kamar mandi yang sama. Dulu... aku sebagai bukan pemeran utama hanya bisa memandang Rodie dari kejauhan. Tapi sekarang, aku bahkan bisa melihat dengan jelas setiap bintik kecokelatan di atas kulitnya. Termasuk melihat helaian uban yang tersembunyi di antara rambutnya yang gelap.

Cinta Rodie padaku tidak kalah hebat. Dia bisa dengan telaten melapisi ujung kertas pemeriksaan kehamilanku dengan selotip. Ketika kutanya, buat apa? Katanya, Rodie khawatir ujung stepler yang tajam melukai jariku. Jadi dia menutupinya dengan selotip.

Sederhana.

Tapi bodohnya, aku bisa sangat terbawa perasaan karenanya.

Rodie juga menggenggam tanganku di tengah ramainya lorong rumah sakit, di antara langkah pasien maupun petugas yang cepat. Katanya supaya aku tidak tertabrak.

Aku pernah duduk di sampingnya ketika Rodie rapat daring. Perutku yang semakin buncit membuat aku tidak mau diam di atas kursi karena beberapa kali mencari posisi yang nyaman. Tak kusangka, Rodie menyadari itu.

"Kenapa, Sayang? Mau gantian kursi?"

"Eh. Nggak."

Sempat-sempatnya dia bertanya begitu demi memperhatikanku. Aku yakin, kalau kuminta dia bertukar kursinya, maka dia akan melakukannya.

Terkadang aku merasa... dia bukan manusia sungguhan. Caranya memperlakukanku seperti harapan semua wanita tentang lelaki yang mereka dambakan. Tidak heran kalau Rodie berhasil menjerat banyak wanita.

Malam ini sambil memandangi wajah terlelapnya di sampingku, aku terbesit untuk menghadiahi Rodie jam tangan yang sama denganku.

-o0o-

Jam tangan itu bukan jam tangan mahal yang berharga jutaan. Harganya kurang dari satu juta untuk sepasang jam tangan. Yang lelaki berharga lima ratus ribu. Sedangkan yang perempuan tiga ratus ribu (mungkin karena ukurannya jauh lebih mungil).

Barangkali ini adalah jam tangan paling murah yang Rodie miliki. Tapi kado ini bagiku bukan tentang harga. Melainkan tentang bentuk perhatian untuk orang yang kucintai. Lagipula meskipun harganya murah, aku suka sekali dengan modelnya. Bagian jamnya berwarna emas, sedangkan talinya berbahan kulit berwarna cokelat tua. Modelnya sama sekali tidak memalukan. Aku sudah membayangkan... Rodie akan sangat cocok mengenakannya.

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang