🌼29🌼

1.9K 271 75
                                    


Melihat Rodie yang lembut dan kebapakan, terkadang aku merasa takut orang-orang jatuh cinta padanya dengan mudah. Terlebih aku tahu, kebanyakan lelaki bisa balas jatuh cinta karena alasan sederhana. Temanku bisa jatuh cinta karena tahi lalat di pipi seorang wanita yang menurutnya manis. Sementara alasan wanita mencintai biasanya lebih rumit. Seperti aku yang mencintai Rodie karena dia baik, taat agama, mengayomi, tampan dan pintar.

Sedangkan Rodie? Dia bisa menikahi seorang wanita hanya karena ingin payudaranya.

Mempertimbangkan Rodie yang sibuk dan seringkali mangkir menjenguk Yati, sekarang Yati yang pergi ke Bandung setiap akhir pekan. Bukan Rodie yang pergi. Dengan cara begitu, mau tidak mau Rodie akan selalu bertemu Yati tiap akhir pekan. Kesannya memang memaksa.

Ya, tapi bagaimana lagi? Yati benar-benar tidak ingin kehilangan kesempatan bersama Rodie.

Yati sudah ada di Bandung pada Jumat malam. Dia datang ke rumah sakit untuk menunggu Rodie pulang. Ketika pasien sepi, Yati masuk ke dalam ruangan Rodie. Aku yang di luar ruangan hanya bisa menguping dari pintu ruangan yang sedikit terbuka.

"Andai saya ketemu kamu lebih dulu waktu itu. Kayaknya saya nikah sama kamu."

"Dulu? Waktu dandanan Mas Rodie masih kayak preman? Hahaha, belum tentu saya mau nikah sama kamu, Mas. Wleee."

"Ih, kamu mah begitu sama saya teh, Mom. Tega."

"Waktu muda dulu dandanan Mas Rodie kan kayak preman. Lagian kenapa Mas Rodie mau nikah sama saya sih?"

"Kamu itu wanita paling pekerja keras. Hal yang paling bikin saya jatuh cinta sama kamu itu karena setiap hari kamu menempuh puluhan kilometer naik angkutan umum untuk bekerja. Menurut saya... wah, itu keren sekali."

Sudah kubilang. Alasan lelaki jatuh cinta memang sangat receh.

Aku menyibukan diri mengisi rekam medis pasien di komputer ketika mereka keluar ruangan. Mereka duduk di kursi tunggu pasien yang sudah sepi semakin malam hari. Hanya ada beberapa keluarga pasien yang duduk sambil menunggu obat selesai.

"Permisi, Bu. Saya boleh minta nomor hapenya?"

Aku melirik. Seorang lelaki paruh baya menghampiri Yati dan tiba-tiba meminta nomor Yati. Padahal aku tahu bapak itu sedang menemani istrinya berobat. Istrinya sedang mengantre obat di bagian farmasi. Sedangkan sang suami menunggu sambil berkeliaran begini.

"Nomor saya untuk apa ya, Pak?"

"Saya mau kenal ibu lebih dekat."

"Oh, begitu."

"Boleh saya minta nomornya—"

"Tidak boleh, Pak. Ini istri saya."

Aku melirik ke belakang. Kulihat wajah galak Rodie pada bapak genit itu. Rodie kelihatan sangat marah sekaligus cemburu.

"Bapak jangan sembarangan minta nomor perempuan ya, Pak. Ibu ini sudah punya suami. Saya suaminya."

"Aduh! Ini istri dokter? Maaf, Dok. Saya tidak tahu. Istrinya cantik sekali."

"Iya, ini istri saya."

Rodie bohong. Katanya dia tidak cinta Yati. Buktinya dia cemburu parah ketika orang lain mendekati Yati. Katanya dia tidak peduli waktu Yati meninggalkannya ke Jakarta lima tahun lalu. Tapi buktinya Rodie bisa semarah ini waktu lelaki lain meminta nomor Yati. Omongan Rodie benar-benar tidak bisa dipercaya.

"Prof Rodie kenapa tuh? Wajahnya merah amat," bisik Itoh yang baru kembali dari kamar mandi.

"Dia lagi cembokur," kataku pelan. "Tadi ada bapak-bapak yang minta nomor Bu Yati."

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang