Nenekku sakit. Usianya sudah sekitar delapan puluh tahun, tapi belakangan ini darah keluar dari kewanitaannya bagikan haid. Wanita seusia itu seharusnya tidak lagi mengalami haid. Aku yakin ada sesuatu yang salah dengan rahimnya. Jadi kuputuskan untuk membawanya ke Rodie.Ibuku yang mengantar nenek berobat sore ini. Sementara aku menyelesaikan pekerjaanku. Lagipula aku tidak punya keberanian sebesar itu untuk mendampingi nenekku di ruangan Rodie. Keadaannya pasti sangat canggung karena aku sangat gugup. Jangankan untuk menjelaskan keadaan nenek. Untuk menyapa Rodie saja tidak mampu. Aku takut tergagap di depannya. Maka dari itu kuputuskan agar ibuku saja yang mendampingi nenek di ruang periksa.
"Teh Itoh, itu nenek aku berobat ke Prof Rodie ya," kataku.
"Siap, Teh! Nggak sekalian Teh Nana juga masuk ke ruangan Prof Rodie? Biar jelasin keadaannya. Biar Prof Rodie juga tau kalau itu neneknya Teh Nana. Biasanya Prof Rodie suka ngasih diskon kalau yang berobat keluarga atau pegawai di sini."
"Ah, aku malu teh. Biarin aja nenek sama ibu aku yang masuk."
"Ya udah kalau gitu."
"Pasien selanjutnya siapa, Toh?" tanya Enin Rini yang baru keluar dari ruangan Rodie.
"Ini, Bu. Nyonya Ecih. Neneknya Teh Nana."
Enin Rini menganggguk.
"Ayo Bu Ecih, masuk," kata Enin Rini.
Sementara itu aku menyelesaikan pekerjaanku yang tadi tertunda. Cukup lama ibu dan nenekku di dalam ruangan. Begitu keluar, kudapati mereka membawa slip pemeriksaan.
"Sama aku aja, Ma," kataku mengambil alih sebundel berkas untuk menyerahkannya ke bagian kasir serta farmasi.
"Gimana? Sakit apa katanya, Ma?"
"Dokternya bilang karena besar rahim yang abnormal. Wanita seumur nenek seharusnya punya rahim yang menciut, tapi tadi waktu diUSG, rahim nenek masih sama besarnya seperti rahim wanita usia subur. Sekarang diberi obat dulu supaya pendarahannya berhenti. Kata dokter diobservasi lagi beberapa hari. Kalau masih pendarahan juga, rencananya harus dikuret, Teh."
"Oh, gitu. Tapi gimana tadi? Dokternya bagus?"
"Bagus. Kelihatan smart dari cara menjelaskannya. Dia sudah profesor ya, Teh?"
"Iya. Gimana? Cocok berobat di sini? Atau mau cari dokter kandungan yang lain untuk alternatif?"
"Lanjut di sini aja, Teh. Nenek juga nyaman diperiksa dokternya karena dokternya baik dan sabar menjelaskan ke nenek yang sudah sepuh," jawab ibuku.
Aku mengangguk.
"Ya udah. Mama sama nenek tunggu di mobil aja ya. Biar aku yang selesaiin pembayaran sama ambil obatnya."
"Iya, Sayang. Mama sama nenek duluan."
Mereka berjalan berdampingan menyusuri lorong rumah sakit, sedangkan aku melanjutkan serangkaian alur ini hingga selesai.
Kulihat slip pemeriksaan yang tercantum. Tertulis di sana bahwa biaya konsultasi sebesar lima ratus ribu. Ditambah biaya USG dua ratus lima puluh ribu.
Aku tercenung dalam langkahku ke kasir. Itoh bilang diskon? Tapi ternyata biayanya sama saja. Tidak ada pengaruh sama sekali. Setahuku, Rodie memang suka memberi diskon pada orang tidak mampu. Dia menilai dari penampilan pasiennya, menanyai pekerjaannya. Mungkin jawaban nenekku membuat Rodie menyimpulkan bahwa nenekku mampu, sehingga Rodie memberikan biaya yang mahal tanpa ragu.
"Eh, Teh Nana. Ini keluarga Teh Nana?" tanya kasir begitu aku menyerahkan slip pemeriksaan.
"Iya. Nenek aku sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
RomanceAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023