🌼28🌼

2.2K 282 75
                                    


Bonus chapter:

"Mas, ini biskuitnya. Saya suapin ya."

"Makasih, Mom."

Yati duduk di kursi sisi bed pasien. Dibukanya bungkus biskuit itu. Dipatahkannya dengan telaten hingga menjadi kepingan kecil, lantas dia suapkan hati-hati pada Rodie. Sementara Rodie mengunyah, Yati memandanginya penuh damba.

"Siapa lagi yang mau mengurusmu seperti ini, Mas," gumamnya dalam lamunan.

Sesekali Yati mengusap remah biskuit yang bertebaran di sisi mulut dan dada Rodie dengan tisu. Lelaki itu hanya menurut ketika Yati merawatnya dengan sabar.

"Sudah kenyang."

"Eh, ini satu potong kecil lagi. Habiskan. Supaya pas tiga keping biskuit. Jangan disisa-sisa."

"Ah, Mom."

"Habiskan," tegas Yati, menyuapkan biskuit ke depan bibir Rodie dengan paksa. Pada akhirnya lelaki itu membuka mulut juga.

"Mau minum air hangat, Mas? Tadi saya mau bawa tempat minum kecil isi air hangat. Tempat minumnya bagus. Waktu itu saya beli di swalayan. Harganya murah tapi bisa bikin hangatnya awet. Eh, saya ingat di kamar ini juga ada dispenser ya."

Wanita itu bangkit meraih gelas dan mengisi air hangat untuk Rodie.

"Minum dulu. Pasti seret tenggorokannya abis makan biskuit."

Yati menyodorkan gelas itu ke depan bibir Rodie dengan hati-hati, sampai akhirnya Rodie minum beberapa teguk.

"Makasih ya, Mom."

"Sama-sama, Mas."

Yati lantas duduk kembali di kursinya dengan pandangan kosong.

"Kok ngelamun?"

"Nggak apa-apa. Saya cuma keingetan kata-kata Nana pada saya. Saya jadi kepikiran terus. Kata-kata dia kasar sekali."

"Lagipula kenapa kamu tinggalin dalaman kamu di kamar dia?"

Yati tercenung sesaat.

Sebelumnya Yati selalu sengaja bersuara tiap Ramina bertelepon dengan Rodie. Seolah-olah memberi kode bahwa Rodie sedang berada dekat dengannya. Yati memang memiliki kecenderungan berperilaku posesif. Ibarat kucing yang kencing untuk menandai area kekuasaan.

"Saya refleks saja melakukan itu. Saya ingin dia tahu kalau kamu milik saya."

"Tapi bukan begitu caranya, Mom. Coba kalau ada dalaman Nana di kamar kamu. Apa mungkin kamu tidak marah? Saya yakin kamu akan ngamuk-ngamuk. Kamu pasti ngambek sama saya karena kamu orangnya sangat cemburuan."

"Kenapa Mas jadi bela Ramina?"

"Bukan. Saya bukan membela. Saya cuma bicara logika. Kelakuan kamu meninggalkan dalaman di kamar Ramina itu di luar akal sehat manusia, Mom. Lalu sekarang kamu merasa sedih karena Nana memaki kamu. Ya jelas dia marah. Ada alasannya. Itu akibat perilaku kamu juga."

"Tapi kan dia bisa ngomong lebih sopan, Mas. Bukan kayak gitu."

"Siapa yang tidak marah melihat dalaman wanita lain di kamarnya? Sekarang kamu sedih. Nangis. Padahal sedih kamu itu dibuat sendiri."

"Iya, Mas. Maaf."

"Lain kali jangan begitu lagi ya."

Yati mengangguk, tapi hatinya masih dongkol. Dia masih sulit menerima perlakuan Ramina padanya.

"Tapi saya memang bau ya, Mas?"

"Mungkin karena dalaman itu kamu pakai sejak perjalanan dari Jakarta. Kena keringat dan debu. Bakteri. Berkembang biak. Wajar saja kalau bau."

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang