Malam ini aku sudah tidur sebelum Rodie tiba di rumah.Sebelum pulang kerja, aku sempat melihat pasien Rodie yang daftar berobat hari ini. Jumlahnya ada 34. Itu pun pihak pendaftaran sudah berusaha menolak dua pasien terakhir. Tapi kabarnya dua pasien itu terus memaksa hingga memaki-maki petugas. Mau tidak mau, dua pasien itu akhirnya diterima saja daripada terjadi keributan (jangan dicontoh ya. Takutnya kalian tetap sakit karena petugas tidak ridho pada kalian).
Aku sudah menduga kalau pasien Rodie akan membludak setelah kepulangannya dari London. Selama tiga hari kemarin, jam prakteknya diganti dokter lain. Bukan oleh anak pertama Rodie. Sehingga pasien yang terdaftar hanya dua atau lima pasien saja.
Itoh juga sudah menekankan berkali-kali tentang prediksinya bahwa hari ini pasien Rodie akan penuh sebagai imbas ketidakhadirannya selama tiga hari ke London. Itoh berdalih, kemarin banyak pasien yang batal berobat ketika tahu kalau bukan Rodie yang praktek. Padahal sama-sama dokter obgyn. Obat pun tinggal meneruskan yang ada di rekam medis. Tapi tetap saja rasanya akan beda, begitu kata pasien.
Di samping ketampanannya, kecerdasan Rodie memang jadi daya tarik tersendiri.
Sekitar jam delapan malam, aku sudah menghubungi Rodie. Biasanya dia sudah sampai rumah.
"Prof, udah beres?"
"Belum. Masih ada pasien."
"Udah jam delapan. Mau pulang jam berapa?"
"Sebentar lagi, Sayang."
"Nanti langsung pulang ya."
"Iya. Sudah dulu ya. Saya meriksa pasien lagi. Wassalamualaikum."
Setelah panggilan itu, aku tidur karena sangat mengantuk.
Begitu bangun, kulihat jam di layar ponsel. Sudah pukul setengah sebelas malam rupanya. Rodie sudah ada di sofa kamar kami. Dia sedang duduk sambil memainkan ponselnya.
Aku bangkit menghampirinya setengah sadar. Aku duduk di atas pangkuannya dan memeluk leher lelaki ini sambil memejamkan mata.
"Eh, bangun?"
"Hmm," gumamku serak.
Kurasakan Rodie balas memelukku. Kami bertahan dalam posisi ini untuk beberapa saat.
"Sampai rumah jam berapa?" tanyaku, memandang wajahnya, lantas mendaratkan kecupan di pipinya yang tembam begitu lucu waktu tersenyum.
"Tadi jam sepuluh. Saya lihat kamu sudah tidur. Mau dibangunkan tidak tega. Ngantuk ya? Maaf ya, Sayang. Saya pulangnya terlalu malam."
"Nggak apa-apa. Pasiennya banyak ya?"
"Iya. Ada tiga puluh empat."
Aku coba menghitung-hitung. Semisal semua pasien hanya konsultasi saja, tanpa tindakan USG dan semacamnya, maka Rodie dapat Rp. 500.000 paling kecil. Dikalikan 34 pasien. Maka malam ini setidaknya Rodie mengantongi uang Rp. 17.000.000.
"Kenapa ngelamun?" tanyanya, membuyarkan pikiranku.
"Eh, nggak. Cuma masih ngantuk aja."
"Saya bawa pulang uang dua puluh satu juta hari ini, Non. Alhamdulillah."
Hah, Rodie langsung mengatakannya. Sepertinya hatiku dan dia memang terhubung seperti belahan hati.
"Uangnya saya transfer ke rekening kamu ya. Lima jutanya saya simpan untuk pegangan saya."
"Itu kebanyakan buat aku, Prof."
"Nggak apa-apa. Atur-atur saja untuk keperluan rumah dan yang lainnya. Kita kan harus ngumpulin uang untuk anak kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
RomanceAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023