Terkadang aku merasa Rodie sudah terlalu tua. Kadangkala pula aku merasa dia masih muda.Ketika melihat Rodie datang di sore hari dan cegukan sepanjang jalan menuju ruangannya, aku menyadari bahwa dia ternyata sudah setua itu. Aku mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali aku cegukan. Mungkin itu ketika aku SD. Selebihnya aku tidak pernah mengalaminya lagi.
Akibat kejadian itu aku sempat melamun sejenak, memikirkan kalau tubuh Rodie telah mengalami penuaan. Ah, iya. Dia bahkan telah memiliki cucu dari anak sulungnya.
Enin Rini keluar sejenak untuk membawa segelas air hangat. Diam-diam aku menguping obrolannya dengan Itoh ketika menyiapkan air hangat untuk Rodie.
"Jadi yang tadi cegukan itu Prof Rodie, Bu? Aku kira pasien. Dari sini suaranya sampai kedengeran saking besarnya."
"Iya, Prof Rodie cegukan. Dia mah memang begitu kalau cuacanya dingin. Tadi ibu dengar suaranya juga serak, dia batuk-batuk dan ingusan. Katanya tadi pagi dia juga nggak ke kampus. Sudah dua hari ini dia tidak mengajar karena flu."
"Oalah, tapi masih mengusahakan untuk praktek ya, Bu."
"Iya."
Enin Rini lantas kembali masuk ruangan Rodie sembari membawa air hangat.
Aku jadi teringat sesuatu. Rodie memang tidak bisa memakai AC kalau di kamar. Dia selalu berdalih kalau dia punya rhinitis alergika. Untungnya aku bukan tipe yang mudah gerah, jadi tidak masalah meskipun tanpa AC. Yang jadi masalah ketika dia harus bersama Yati yang notabenenya gampang sekali berkeringat. Pantas saja Rodie pernah cerita padaku kalau dia sulit sekali menemukan kecocokan kalau tidur dengan Yati dikarenakan perbedaan kebutuhan mereka tentang suhu kamar.
Ketika berjalan pulang melewati farmasi, aku berpapasan dengan supir Rodie. Pak Tarno sedang membeli sesuatu di farmasi.
"Neng Nana. Pulang?"
"Eh, iya, Pak."
"Mau sekalian dianter nggak? Saya udah lama nggak anter jemput Neng Nana lagi. Aduh, rasanya ingin nganter Neng Nana pulang."
"Hehe, nggak perlu, Pak. Makasih. Ini bapak lagi beli obat? Lagi sakit, Pak?"
Sepertinya orang-orang sedang jatuh sakit. Rodie cegukan dan flu karena cuaca dingin. Sekarang Pak Tarno juga beli obat di farmasi.
"Nggak, Neng. Ini saya diminta beli obat buat bapak. Tadi si bibi laporan ke saya kalau obat bapak abis. Jadi saya nebus obat bapak. Kemari obatnya cepet abis soalnya sehari dimakan dua kali. Tapi sekarang obatnya diganti jadi yang lebih tinggi."
"Obat apa?"
"Obat darah tinggi."
Aku langsung terhenyak.
Kusadari bahwa Rodie memang sudah setua itu rupanya. Aku paham betul tentang cara kerja obat darah tinggi yang melenturkan pembuluh darah. Dengan kata lain, pembuluh darah Rodie sudah menua, sehingga butuh obat agar pembuluh darah tidak kaku, sehingga tekanan darahnya terkontrol.
Dengan kondisi tubuh seperti itu, aku tidak mengerti kenapa kelakuan Rodie masih saja bagaikan remaja pubertas yang baru mengenal cinta-cintaan. Hufh.
"Mari, Pak. Aku pulang dulu."
"Iya, hati-hati, Neng."
Sambil melangkah keluar, aku terus melamunkan hal ini. Seringkali aku tidak mengerti, kenapa hingga saat ini perasaanku pada Rodie masih terasa aneh. Kalau aku memang tidak punya perasaan apa pun padanya, seharusnya aku tidak peduli ketika dia membebaskan tarif untuk dokter Liesa, sementara Rodie tetap menarik tarif dariku. Tapi kenapa aku merasa berkecil hati ketika mendapat perlakuan itu? Padahal aku sadar, lelaki yang membuatku sedih itu sudah sangat kolot, menderita darah tinggi, rhinitis alergika, cegukan kalau cuaca dingin dan telah memiliki cucu. Rasanya aku tidak pantas merasa cemburu pada lelaki itu. Masih banyak lelaki yang lebih patut aku cintai dibanding si tua bangka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
RomanceAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023