🌼23🌼

2.3K 297 76
                                    


Keuntungan memiliki wajah rupawan adalah banyak yang memberi hadiah ketika ulang tahun.

Aku menyadari itu ketika Rodie mengalaminya. Aku tidak tahu berapa buah kado yang dia terima. Yang jelas banyak sekali. Baik itu kado dari medical represensative, rekan kerja, keluarga sampai para penggemarnya.

Aku mengatakan penggemar karena ada banyak yang memberinya hadiah tanpa data diri pengirim. Begitu jam praktek Rodie dimulai, tiba-tiba saja ada kurir yang mengirimkan sekotak besar pizza dan aneka pasta. Tak ada info tentang siapa pengirimnya. Hanya ada secarik kertas tulisan tangan yang amat rapi: untuk Marodie Suteja (dokter), selamat ulang tahun ya Ndiiie.

Aku yakin pengirimnya pasti orang yang kenal dekat dengan Rodie. Terbukti dari betapa orang itu ingat ulang tahun Rodie, rumah sakit tempatnya bekerja, jam prakteknya, sampai panggilan akrab Rodie. Tapi hingga kini Rodie tidak tahu siapa pengirim makanan itu.

"Makan saja bareng-bareng. Itu rejeki buat yang dinas sore," katanya sembari memberikan seluruh pizza dan pasta. Orang yang bertugas sore pun bersorak girang.

Bukan hanya pizza, Rodie juga menerima banyak kue ulang tahun. Mulai yang dari rasa cokelat, keju, sampai yang bentuknya puding buah. Pokoknya Rodie panen banyak sekali kue, makanan hingga kado pada hari ulang tahunnya.

Kalau melihat fenomena itu, aku semakin menyadari keuntungan berwajah tampan yang Rodie miliki. Banyak orang yang peduli padanya. Dia dilimpahi banyak perhatian pada hari ulang tahunnya.

"Bagi-bagi ya," kata Rodie sambil berlalu ke ruangannya.

Petugas di nurse station pun sibuk membuka pizza yang tampaknya masih hangat. Aku hanya menonton Enin Rini dan Itoh membagi-bagi pizza itu ke dalam piring kertas sementara liurku membanjir. Kujilat bibirku yang terasa kering. Pizza itu kelihatan sangat menggiurkan.

"Eh, iya. Teh Nana belum dikasih. Ampir aja lupa. Maaf ya. Tadi ngasih anak-anak poli obgyn dulu. Takut nggak pada kebagian. Nah, ini masih ada sisa untuk Teh Nana."

Enin Rini menyerahkan sepotong kecil pizza padaku yang tampaknya bagian penghabisan.

"Makasih ya."

"Sama-sama, Na," jawabnya. Wanita itu sibuk kembali membuka mac and cheese trufle dominos yang masih hangat. "Itoh! Ini masih ada! Ini satu buat Itoh, satu lagi buat ibu."

"Oh, iya, Bu."

"Ih, Prof Rodie baik banget ke pegawainya ya! Sampai dikasih sebanyak ini. Eh, Nana. Mac and cheesenya cuma ada dua. Maaf ya. Ini punya Ibu dan Itoh."

"Iya, nggak apa-apa, Bu."

Aku melahap pizza di kursiku sambil melirik jam dinding. Sudah jam tiga sore lebih lima belas menit. Selesai makan pizza, aku akan segera pulang. Pak Tarno sepertinya sudah menunggu lama di parkiran rumah sakit.

Sambil melahap pizza itu aku melamun, bahkan hingga detik ini Enin Rini masih memperlakukanku dengan semena-mena. Dia sepertinya senang sekali menjauhkan segala hal perkara Rodie dariku.

"Teh Nana, mau ikut patungan ngasih Prof Rodie hadiah? Anak-anak poliklinik rencananya mau kasih kado ke Prof Rodie. Kita patungan seratus ribu per orang. Untuk kadonya nanti kita pikirkan lagi sesuai uang yang terkumpul," kata Itoh, menghampirku.

"Boleh. Aku ikutan deh. Transfer aja ya ke rekening Teh Itoh?"

"Oke."

Aku berkutat dengan ponselku sebentar untuk mengirim uang. Berhasil.

"Udah aku kirim."

"Siap, makasih, Teh Nana. Kira-kira kado yang bagus apa ya?"

Aku termenung sebentar.

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang