SECARA otomatis manusia akan melihat apa yang ada di hadapannya ketika berjalan, tapi Rodie tidak. Dia justru melihat ke arah lain ketika aku jelas-jelas ada di depannya. Dia melihat ke sisi kiri atau pun kanan sambil menyibukan diri, entah itu menggulung lengan baju, meraih kaca mata di saku kemeja, atau sekadar merapihkan rambut. Yang jelas dia selalu mengalihkan pandangannya dariku ketika kami berpapasan di koridor rumah sakit.Aku yang telah terbiasa hanya akan menyemburkan tawa kecil kalau melihat dia begitu. Ternyata sampai saat ini dia tidak mampu memandangku di keramaian. Sekarang aku tidak masalah. Tapi dulu, mungkin aku akan berpikir dari tingkahnya yang satu itu kalau kami sepertinya tidak akan pernah punya kesempatan untuk saling mengenal.
Rodie selalu memblokir segala jalan untuk mendekatinya. Bahkan lirikan pun tidak dia berikan dengan mudah. Itu yang kupikirkan setiap melihatnya.
Sore ini dia mengenakan kemeja bermotif kecil kotak-kotak berwarna perpaduan merah muda dan putih. Celananya berwarna gading. Hatiku selalu terhenyak setiap melihatnya dari kejauhan. Dalam hening pikiran itu aku menyadari bahwa ternyata aku sangat menyukainya.
"Na, Prof Rodie udah datang?"
Lamunanku terpecah ketika seorang perempuan datang. Dia Sheila, temanku yang rencananya akan pasang KB di Rodie atas rekomendasiku.
"Eh, Shei. Udah datang. Baru aja datang tuh. Yang barusan ngelewat. Bapak-bapak yang pake kemeja lengan panjang."
"Oh itu?"
Sheila mengangguk-angguk paham.
"Hidungnya mancung ya? Aduh, gimana dong, Na? Aku malu konsul sama yang ganteng gitu. Pasti nervous."
"Hehe, nggak apa-apa, Shei. Rileks aja."
Begitu giliran Sheila tiba, aku hanya berdiri di luar tanpa ikut ke dalam kendati dia temanku semasa SMA. Setelah beberapa lama di ruangan Rodie, akhirnya wanita itu keluar juga.
"Gimana?"
"Bagus, Na. Tadi sama sekali nggak kerasa waktu dipasang IUD. Aku nungguin kapan disuruh batuk. Biasanya kan suka disuruh batuk biar nggak kerasa pas masuk. Aku tungguin, kok nggak diminta batuk aja? Eh, taunya Prof Rodie bilang kalau pemasangannya udah selesai. Ajaib banget tangannya."
Aku tercenung kagum.
"Serius?"
"Iya. Makasih udah nyaranin Prof Rodie, Na. Udah ganteng, smart pula. Tindakannya juga oke."
"Iya, sama-sama, Shei."
"Duluan ya! Aku mau bayar ke kasir."
"Oke!"
Sheila tidak tahu kalau Rodie itu suamiku. Jadi dia pasti mengemukakan pendapatnya secara objektif, tak terpengaruh rasa segan padaku. Makanya aku kaget waktu Sheila berpendapat demikian. Ternyata Rodie memang sejenius itu ya? Di balik sisi mesumnya, ternyata dia sungguh menyimpan kemampuan bidang kedokteran yang luar biasa. Pantas saja dia meraih gelar profesor. Dulu aku selalu menganggap Rodie meraih gelar itu karena dia tekun, tapi ternyata dia memang jenius.
Bukan apa-apa. Masalahnya dulu aku pernah mendengar pasien menjerit-jerit kesakitan waktu dipasang IUD oleh dokter obgyn lain. Teriakannya sampai terdengar ke luar ruangan. Makanya ketika Sheila bilang tindakan Rodie tak terasa, aku jadi bertambah takjub.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
RomanceAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023