🌼53🌼

1.8K 292 74
                                    


Aku tercenung melihat foto-foto Rodie di sosial media Liesa. Wanita itu mengunggah kegiatan seminar kemarin, di mana dirinya menjadi pembicara dan Rodie hadir. Rodie dan Liesa berdiri berdua dengan jarak dekat, sampai-sampai payudara Liesa menempel dengan lengan Rodie. Ah, Rodie pasti paling suka yang seperti ini. Padahal mereka berada di tempat luas, dengan latar bangku-bangku peserta seminar dan layar besar. Tapi mereka memilih berdiri berdempetan seperti sedang berada di angkutan umum.

Aku beralih ke foto berikutnya. Kulihat foto Rodie semasa kuliah yang Liesa unggah bersama keterangan bahwa Rodie adalah kakak tingkat yang telah membimbingnya pada saat itu. Mataku terpaku, melihat tahun yang tertera. Aku menghitung, bahwa foto ini diambil ketika Rodie berusia dua puluh empat tahun. Sama seperti usiaku sekarang.

Rodie kelihatan tampan. Pipinya lebih ramping daripada sekarang, sehingga bentuk rahangnya terlihat lebih tegas. Kulit wajahnya juga masih kencang, tidak seperti sekarang. Badannya juga jauh lebih kecil, tidak berpantat besar dan berperut buncit seperti sekarang. Secara keseluruhan dia kelihatan layaknya seorang pemuda yang gagah. Kurasa dia digandrungi banyak wanita pada masanya.

Melihat foto itu... aku menyadari kalau Rodie juga pernah muda. Dia pernah seusiaku. Dia pernah setampan itu. Sayangnya, aku tidak menyaksikan saat-saat keemasannya. Aku bahkan belum lahir ke dunia.

Aku melihat foto Rodie sekarang, menyadari bahwa dia sudah setua itu. Ada sedikit rasa sedih di hatiku karena mendapat bagian diri Rodie yang menua, yang bibirnya tidak lagi penuh dan kencang. Padahal dia punya bibir yang sangat indah ketika muda, berbentuk seperti huruf M, dengan ketebalan pas, dan tampak seperti cemberut kalau dia tidak senyum. Seksi sekali. Kelihatannya nyaman sekali kalau dicium.

Astaga.

Aku menggelengkan kepalaku karena sudah berpikir yang tidak-tidak.

Tapi, kalau kupikir-pikir lagi... kukira aku menyukai Rodie karena dia adalah lelaki yang jarak usianya jauh dariku. Sama seperti Ian. Ternyata, setelah aku melihat Rodie muda, aku juga tetap mengaguminya. Jadi kurasa, aku jatuh cinta padanya bukan karena perbedaan usia kami. Tapi karena memang Rodie orangnya.

Aku memasukkan ponselku ke dalam saku, lantas kembali berjalan di lorong rumah sakit. Mataku tercekat melihat Rodie di ujung sana. Pandangan kami sempat bertemu beberapa detik, tanpa senyum sama sekali. Setelahnya Rodie memalingkan wajah ke arah lain. Hingga akhirnya dia benar-benar melewatiku. Kami seperti orang yang tak saling kenal sama sekali.

Ketika aku menoleh ke belakang untuk melihatnya, kudapati segerombolan bidan sedang bertegur sapa dengan Rodie.

"Eh, pulang, Teh? Udah beres?"

"Udah atuh, Prof. Hehehe. Duluan ya, Prof."

Samar aku mendengar obrolan mereka. Setelahnya aku kembali berpaling sambil bertanya-tanya apa salahku sampai Rodie memperlakukanku seperti itu.

-o0o-

Jam kerjaku sebentar lagi selesai. Aku merapikan alat tulis di nurse station karena sebentar lagi akan pulang.

"Prof Rodie-nya masih ada?"

"Masih, Bu. Sebentar ya. Tinggal satu pasien lagi di dalam," kata Itoh, menjawab pertanyaan seorang ibu-ibu berpakaian lusuh. Aku tahu kalau ibu itu adalah orang yayasan dhuafa dan penghafal alquran. Dia memang rutin datang untuk mengambil sumbangan dari Rodie. Dulu aku hanya pernah bertemu sekilas saja, tapi kali ini aku menyaksikan kedatangannya lebih saksama.

Begitu pasien terakhir keluar, kulihat Enin Rini mempersilakan ibu tadi untuk masuk ke ruangan Rodie.

"Eh, Bu. Sehat? Silakan masuk, Bu. Duduk."

Bukan Pemeran UtamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang