"Maaf ya nunggu lama.""Nggak apa-apa, Non. Banyak pasien ya?"
"Iya. Tadi ada satu orang pasien yang datang di detik-detik akhir praktek. Aku udah nolak dan nyaranin dia berobat di shift selanjutnya. Tapi dia maksa. Dia bilang, jadi orang sakit nggak boleh berobat, Mbak? Padahal aku nolak bukan maksud ngelarang dia sakit. Tapi karena jam praktek dokter udah ada batasnya. Ada ketentuan yang harus dipatuhi. Karena males debat, ya udah akhirnya pasien itu aku terima. Untungnya, dokter nggak marahin aku."
"Memangnya suka ada dokter yang marah ya, Non?"
"Ada. Mereka juga kan punya keperluan. Ada yang lanjut praktek di tempat lain. Ada yang udah punya janji sama orang. Ada yang harus lanjut ke kegiatan lain. Akhirnya yang kena semprot aku lagi. Sama pasien dimarahin. Sama dokter dimarahin. Maju kena, mundur kena. Hahaha."
"Sabar ya, Sayang. Nanti kalau ada pasien yang maksa kayak gitu, kamu jawab aja, saya nggak berani buat nerima pasien lagi, Bu. Karena dokternya sudah titip pesan kalau dia ada acara setelah ini."
"Iya, ya? Harusnya aku kasih tau betapa serba salahnya posisi aku. Meski tetep aja akhirnya aku yakin nggak semua orang bisa ngerti."
Ian tersenyum begitu teduh, mengingatkanku akan versi baik dari seseorang (Rodie).
Kami berjalan melewati lorong menuju pelataran rumah sakit. Hari ini Ian menjemputku pulang dengan mobilnya. Dia bukan tipikal yang berpergian diantar supir. Ian menyetir sendiri. Jadi dia duduk di bangku pengemudi, sementara aku duduk di bangku sampingnya.
"Karena hari ini kamu udah kerja keras sampai pulang terlambat, gimana kalau saya kasih hadiah? Kita beli jus yuk? Atau eskrim? Atau eskrim buah? Kita beli yang dingin-dingin biar kamu senang dan hati kamu adem."
"Waah! Yes! Aku mau jus. Jus mangga kayaknya seger banget di waktu panas kayak gini."
"Iya. Kita beli jus mangga ya, Sayang."
Ian berkendara, melewati jalanan kota Bandung yang rumit, membawaku entah ke mana. Aku tidak begitu hafal dengan jalanan maupun tempat yang hits. Jadi aku hanya membiarkan Ian membawaku ke tempat yang dia tuju.
Kami berhenti di sebuah toko jus buah yang baru kali ini kukunjungi. Aku memesan jus mangga. Sementara Ian memesan jus alpukat. Kami berjalan kaki di area sekitar toko itu, lantas duduk di sebuah kursi bawah pohon yang rindang. Kami sibuk menyedot jus kami tanpa bicara untuk beberapa saat.
Kutarik napas dalam, menikmati suasana yang begitu menenangkan di sini, dengan satu kap jus mangga yang menyegarkan, bersama lelaki yang membuat hatiku tentram.
"Enak kan? Kamu suka?"
"Enak. Aku suka," jawabku.
"Syukurlah. Saya lega kalau kamu suka, Non."
Jus kami telah habis. Aku mendongak melihat pemandangan yang terhampar di depan sana. Perpaduan antara dedaunan pohon, ranting, kendaraan yang berlalu lalang, serta langit sore yang teduh, membuat suasananya menjadi kerasan.
"Tadi kamu cantik banget."
"Hah? Apa?"
Jujur, aku takut salah dengar.
"Tadi kamu cantik banget."
"Tadi?"
"Iya. Waktu kamu lagi sibuk kerja dengan wajah serius sama kerjaan kamu. Bagi saya... kamu cantik banget saat seperti itu."
Sontak aku tertawa.
"Aku berantakan gitu dibilang cantik?"
"Bagi saya kamu menarik banget waktu kerja keras. Apalagi waktu saya lihat kamu sedang serius membaca rekam medis pasien. Kamu cantik banget, Sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pemeran Utama
RomanceAku mencintainya. Aku mengaguminya. Aku menginginkannya, tapi di sini aku bukan pemeran utama. 25/3/2023