Aku dan Mbak Erin berpisah setelah sore membungkus ibu kota. Sinar mentari tumpah menerpa ujung daun tumbuhan pucuk merah yang ditanam rapat di halaman depan perpustakaan universitas. Mbak Erin sudah berlalu dengan motor matic-nya, tersisa aku dan Mas Deka.
"Balik sama gue nggak? Tapi, gue parkir di depan rektorat."
Kedua bola mataku langsung berotasi malas. Ini orang memang suka membuang-buang energi. Mengingat jarak perpustakaan dengan gedung rektorat dibatasi dua bangunan fakultas. Jadi, kalau mau ke sana harus jalan kaki melewati gedung-gedung tersebut. Sementara pintu keluar universitas cukup dekat dengan tempat kami sekarang.
"Bisa parkir di depan fakultas kali, biar nggak jauh."
"Panas. Kalau lo nggak mau balik bareng juga nggak apa-apa."
"Terus ngapain lo nawarin? Gue balik sendiri aja."
Mungkin dalam beberapa film romantis, si cowok bakal mencegah si cewek pulang sendirian. Namun, adegan itu tidak berlaku untuk aku dan Mas Deka. Alih-alih mengejar atau menawari tumpangan, kulihat dia berlalu sambil bersiul menuju gedung rektorat.
Kami saling mengenal sejak kecil. Saat itu aku sudah kelas satu Sekolah Dasar, dia kelas tiga. Aku dan Mas Deka jarang akur. Katanya hidupku lurus. Sedangkan kata dia hidup harus dinikmati dengan cara tidak terlalu dibawa serius.
Awal mula hubungan kami berubah menjadi seperti saat ini ketika acara ulang tahun papaku. Keluargaku punya kebiasaan merayakan ulang tahun anggota keluarga dengan mengundang beberapa tetangga, termasuk keluarga Om Roni, ayah Mas Deka, yang tinggal di depan rumah kami.
"Ayana, jangan lari-larian sambil bawa minuman gitu, Nak! Nanti jatuh."
Teriakan Mbak Nadira, iparku, menyapa indra pendengar beberapa orang yang hadir di acara ulang tahun. Aku paling malas kalau sudah berkumpul di tengah para orang tua. Pembicaraan mereka terlalu jauh untukku. Walaupun kata Mama Ayudia tidak salah bergabung dalam pembicaraan yang isinya selalu mengangkat topik rumah tangga.
Belum genap satu menit Mbak Nadira berkata, Ayana sudah menubruk tubuh seseorang. Es sirup di tangannya tumpah membasahi kemeja si cowok jangkung. Kemeja itu langsung berlumur es sirup.
Ayana terlihat meminta maaf berkali-kali dan berlari lagi menghampiri teman-temannya di area luar. Sementara para tamu tampak berbincang di ruang tamu dengan si empu acara.
Sialnya, kejadian es sirup itu cuma disaksikan olehku. Sehingga cowok tadi berusaha memanggil lewat gerakan tangan.
"Kenapa, Mas?"
"Nggak lihat?" Dia menunjuk es sirup yang mewarnai kemejanya. "Gara-gara keponakan lo. Pinjem baju Sadam. Gue males pulang."
"Rumah lo di depan doang."
Mas Deka memilih melengos dan berlalu seolah sangat hafal tata letak ruangan di rumah ini. Kakinya yang panjang melangkah masuk ke kamar Mas Sadam dan dia berteman cukup lama. Sehingga tidak heran jika Mas Deka sering banget ada di rumahku. Keluarga kami sudah akrab sejak anak-anaknya masih kecil, tetapi aku dan Mas Deka berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
Любовные романыKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...