Mata gue masih sehat walafiat buat memastikan siapa yang tadi gue lihat. Ya, Kiara! Gue enggak buta atau punya kelainan enggak bisa mengenali seseorang. Jelas-jelas anak kecik berhelm yang tadi sempat melihat ke arah bengkel adalah Ayanna. Apa Kiara juga melihat gue? Habis ke mana mereka?
Gue mendadak makin panik setelah jam lima sore lalu mengingat bahwa sebenarnya ada janji dengan Kiara. Alamat habis gue bakal kena omel. Lebih baik, sih. Daripada kena silent treatment? Bisa mampus gue menerjemahkan sikap diamnya Kiara.
Walaupun gue tahu-mungkin-itu artinya dia kesal. Cuma, gue enggak bakal tahu diamnya itu berarti kesal saja, kesal banget, kesal banget-banget, atau marah dan semacamnya. Demi membunuh rasa waswas yang bermukim dalan perasaan, gue pun memutuskan mengantar Jane pulang dengan motor Rega. Sebab ban motor gue mendadak kempis dan biarlah motor itu diurus oleh salah satu karyawan Rega.
Sekembalinya dari rumah Jane, gue mengebut seakan-akan enggak sayang nyawa. Ini demi kedamaian rumah. Kalau sampai Kiara beneran murka, bisa-bisa gue enggak akan tenang karena terus didiamkan. Masalahnya sekarang kami sudah sepakat untuk mengurus TA bareng-bareng.
Lalu dengan gobloknya gue malah mangkir dari janji hari ini. Lupa sebenarnya. Astaga! Belum setua itu masa gue sudah sepikun ini?
"Kiara udah tidur belum, ya?" Gue bergumam setelah memarkirkan motor Rega di depan rumah.
Kalau dilihat-lihat dari keadaan rumah yang masih terang, si bocil jelmaan Dora itu bisa dipastikan belum tidur. Jadi, gue mengumpulkan keberanian untuk melangkah masuk ke rumah. Padahal itu rumah gue sendiri.
Namun, mengapa rasanya demikian berat. Mungkin karena rasa bersalahku juga pada Kiara.
Begitu memasuki ruang tengah, enggak terlihat ada tanda-tanda Kiara. Bahkan dapur yang hanya dibatasi tembok setinggi pinggang pun tampak kosong. Perempuan itu enggak ada di sana. Terpaksa gue mencarinya ke kamar ... nihil.
Satu-satunya harapan terakhir gue adalah ruang belajar. Tempat di mana Kiara sering bertapa alias mengerjakan revisi tugas akhir. Enggak salah lagi, gadis berponi tipis itu ada di sana, duduk di karpet beludru sambil sesekali membenarkan kacamata. Konsentrasinya tetap pada satu titik, laptop.
Bahkan kehadiran gua enggak mengusiknya sama sekali atau mungkin sengaja? Entahlah. Sudah gue bilang, kalau di dekat kiara entah mengapa gue merasa seperti makhluk yang amat tembus pandang.
Gue berdeham sesaat setelah duduk di sampingnya. "Ki, gue balik. Eh, tapi tadi gue lihat lo sama Ayanna, abis ke mana?"
Enggak ada jawaban. Mampus! Kena aksi mogok bicara, kan? Seketika gue mendadak kehilangan kata-kata untuk memulai obrolan lagi.
Kiara masih fokus membiarkan matanya tertuju pada layar laptop. Sesekali pada buku pedoman skripsi di sisi kanan lengannya. Gadis ini sama sekali enggak memperlihatkan minat pada suara gue yang baru saja menyapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...