Kakinya yang terbungkus flat shoes pun mendekat. Mengikis jarak antara kami. Sementara gue tersenyum lebar walau agak curiga. Terbukti ... Kiara lantas mengangkat totebag dan mendorongnya ke dada gue dengan kasar. Muka gue langsung berubah seakan-akan amat terluka. Si Bocil malah memasang ekspresi datar. Memang apa yang bisa gue harapkan darinya?"Lo jangan menguji kesabaran gue, Mas. Nggak bisa baca tempat, ya?" Kiara melirik ke sekitar, sontak memutar tumitnya dan melangkah cuek meninggalkan gue.
Gue enggak pun menyusul langkahnya. "Berarti kalau nggak di luar, boleh, dong?"
"Mas, gue tonjok, ya?" Dia mengepalkan tangan di hadapan muka gue.
"Ampun, deh! Gue kayak nggak ada wibawanya jadi suami di mata lo."
Tanpa melirik Kiara lagi, gue melenggang ke arah motor yang terparkir di belakang gedung FEB. Parkiran di sana lumayan sepi, jadi di sanalah motor gue berakhir sejak kami datang.
Kiara merampas helm di spion motor dan segera mengenakannya. Pada sekian sekon berikutnya, gue dan Kiara bersiap untuk keluar dari area kampus. Perjalanan kali ini tidak terlalu menyusahkan. Maksud gue, biasanya Kiara paling susah diajak bareng. Ada untungnya juga hubungan kami diketahui banyak orang. Gue jadi enggak perlu susah-susah untuk membujuknya pulang bareng atau menunggu di tempat lain yang agak jauh dari kampus.
Motor kini bergabung dengan beberapa pengendara lain di jalanan yang cukup ramai. Hari menjelang siang dan sepertinya tepat sekali untuk istirahat. Terlebih selama beberapa jam ini harus berurusan dengan bising kendaraan di jalanan. Sebelum turun mengurus skripsi besok, gue harus istirahat dulu kayaknya.
Gue melirik Kiara dari kaca spion. Baru saja gue akan angkat suara, tetapi tangan perempuan itu melingkar sempurna di pinggang. Menghadirkan keterkejutan yang dalam diri gue. Ketika gue kembali melihat pantulan wajahnya di kaca spion, mata kami enggak sengaja bersirobok. Sebentar karena Kiara langsung melengos ke arah lain. Salah tingkah mungkin. Entahlah.
"Kalau lo nggak fokus bawa motornya, gue lepas sekarang," katanya mengancam bahkan hendak menarik tangan dari pinggang gue.
Gue buru-buru mencegah dengan menarik kembali punggung tangannya. Sehingga kini tangan itu tetap melingkar di sana. Perjalanan pulang kali ini terasa lebih baik dari sebelumnya. Apa cuma gue yang merasakannya? Gue sama sekali enggak bisa menebak perasaan dan pikiran Kiara.
Sayang sekali, waktu yang seperti ini seperti bergerak terlalu cepat. Walaupun sebenarnya kami akan bertemu juga di rumah. Namun, beda cerita, Kiara mana mau melakukan yang seperti ini dengan cuma-cuma apalagi kalau gue terkesan memaksa.
Saat membelokkan motor ke arah perumahan-sialnya-terlihat Mama Ira dan Mbak Nadira sedang berbincang di depan rumah. Bukan kesialan sebenarnya, tetapi karena melihat kami pulang bareng seperti ini, pasti bakal ada saja yang bakal dikatakan. Motor gue segera berhenti di depan mereka dan Kiara buru-buru turun, menyalami Mama Ira yang mesem-mesem enggak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...