Sinar mentari menelusup lewat celah kusen. Menerpa permukaan wajah dengan kedua mata yang masih terpejam. Samar-samar suara cicit burung menyapa indra pendengar. Tubuhku yang masih betah di kasur lantas bergerak kecil demi mengusir rasa malas untuk bangkit. Hari telah berganti, mengingatkan aku bahwa fakta yang terjadi sebelumnya bukanlah mimpi belaka. Aku sadar bahwa tidak ada cara mengelak dari apa yang sudah terjadi.
Aku menyingkap selimut tebal yang semalam membungkus tubuh. Bangkit dari kasur sambil bersandar dan mengucek mata selama beberapa saat. Semalam aku benar-benar tertidur di rumah Mama tanpa memberitahu Mas Deka. Dosakah aku? Rasa jengkel yang betah bermukim di dada masih enggan menghilang. Sampai-sampai pikiranku tidak demikian jernih untuk mengirim pesan segala padanya.
"Kiara, kamu nggak ke kampus?" Suara Mama membuatku menoleh ke arah pintu yang masih tertutup rapat.
Rasanya masih sama persis seperti beberapa bulan lalu, sebelum aku menikah. Andaikata hal-hal ini bisa terulang kembali. Lalu, aku tidak akan susah payah menghadapi Mas Deka. Juga tidak akan pernah menjadi penghalang antara dirinya dan Jane. Rasa kesal menggelegak lebih cepat tatkala memoriku memutar wajah Jane berkali-kali. Geram, aku memukul udara dengan gerakan kasar.
"Kiara? Ayo, sarapan dulu dan segera berangkat ke kampus. Papa dari tadi menanyakan kamu." Suara Mama kembali terdengar.
"Iya, Ma."
Walaupun aku agak malas duduk satu meja dengan Papa. Ujung-ujungnya pasti akan ditanya mengenai progres tugas akhir. Pulang ke rumah Papa Malik berarti aku harus menyiapkan diri untuk ditanya-tanya seputar perkuliahan. Sebentar lagi target yang dibuatkan oleh Papa akan segera tiba, tetapi sampai detik ini Bu Nani belum terlihat memberikan tanda-tanda proposalku disetujui untuk diujikan.
Bahana Mama sudah tidak terdengar lagi dan aku hanya duduk termenung di tepi kasur. Membiarkan kaki menjuntai dan menyentuh petak lantai marmer yang dingin. Aku meraih benda pipih di atas meja, mengecek beberapa pesan masuk di sana. Termasuk satu pesan dari Mas Deka yang menanyakan mengapa aku tidak meminta izin padanya jika ingin menginap di rumah Papa Malik.
Cih. Memangnya sejak kapan kami harus hidup saling mengurus satu sama lain? Urusan penting yang seharusnya saling kami pedulikan dan cemaskan adalah urusan bimbingan saja. Selebihnya, aku tidak peduli sekalipun kami adalah sepasang suami-istri.
Tanpa mengindahkan pesan dari Mas Deka, aku segera bergegas ke kamar mandi. Membasuh tubuh dengan air dingin akan sangat menyegarkan dan mungkin bisa mendinginkan pikiranku juga. Biarlah urusan Mas Deka aku pikirkan belakang. Hari ini aku harus kembali ke kampus dan menghadapi kabar yang sudah mulai tersebar. Bagaimana mau menghindar kalau kebenaran itu sudah terungkap? Sialan! Ini semua ulah Mas Deka dan Jane.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...