30. Deka: Ternyata Salah Paham

3.9K 364 6
                                    

Ada yang berat, tetapi bukan rindunya Dilan 1990

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada yang berat, tetapi bukan rindunya Dilan 1990. Kali ini beratnya beda, sampai bikin lengan gue kebas. Gue enggak tahu sudah sejak kapan kepala Kiara menjadikan lengan kiri gue sebagai bantal. Dengan enteng dia terlelap di sana dan bikin gue pegal-pegal. Ya Tuhan, gue menguap selama beberapa saat sebelum memeriksa keadaan Kiara di sana. Benar, kan? Dia tertidur pulas. Sementara jam beker menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Kalau dipikir-pikir, semalam gue tidur berjauh-jauhan dengan Kiara. Loh, malah sekarang malah jadi dekat begini?

Syukur-syukur kalau Kiara belum bangun. Kalau dia sadar tertidur dalam posisi ini, bisa-bisa yang kena semprot adalah gue. Enggak ada yang tahu bagaimana semalam, sampai akhirnya bisa tidur sedekat ini-bahkan di lengan gue. Catat. Dengan hati-hati, gue berusaha menyingkirkan kepala Kiara, sayangnya ... cewek boncel ini malah membuat pergerakan kecil yang menandakan bahwa dia enggan berpindah.

Tolonglah, harus berapa lama lagi gue menahan lengan yang terasa kebas akibat kepalanya? Gue mencoba lagi, kali ini menarik tangan yang masih ada di bawah kepalanya. Bersusah payah untuk membebaskan diri tanpa membuatnya terbangun. Namun, rencana enggak semulus apa yang ada di pikiran gue.

"Mas?!" pekiknya. Kedua mata gadis itu telah terbuka selebar mungkin. "Lo mau ngapain? Jangan macem-macem lo! Gue bilangin Papa!"

"Lah, tangan gue, Cil."

Wajah Kiara yang masih menahan kantuk pun terlihat panik. Dengan sekuat tenaga Kiara bangun dan mendorong lengan gue. Dia terduduk menjauh sambil merapikan rambut berantakannya. Rasa canggung amat terasa di antara kami. Perdebatan semalam pun rasanya masih tersisa.

Semalam Kiara benar-benar melarang gue untuk enggak berurusan lagi dengan Jane. Entah mengapa gue pun bertekad meminimalisir kedekatan dengan sang mantan. Gue juga enggak suka, tuh, kalau melihat Kiara dekat-dekat sama Arga. Ini kesalahan terbesar gue yang terkesan membukakan jalan untuk cowok itu. Baiklah, gue akan menegaskan ke Arga lain kali.

"Ini .. gue atau lo yang mau mandi duluan?" tanya gue demi mengusir canggung di antara kami.

"Lo aja. Gue nggak ke mana-mana pagi ini." Tanpa melihat gue, Kiara bersuara sedikit lirih. "Hm, lo bener nggak melakukan hal-hal aneh, kan?"

"Kenapa? Lo mau ngelapor ke Papa? Papa Malik? Lapor aja sono, paling dia juga bakal belain gue. Aneh lo! Wajar kalau gue mau ngapa-ngapain, kita ini suami-istri, Bocil."

"Tapi, gue nggak mau, ya! Gue bakal lapor ke Mama kalau lo maksa-maksa."

Mendengar kalimat yang sama sekali tidak ada unsur banyolan, gue malah tergelak. Oh, dia enggak tahu kalau gue ini bukan pemaksa ulung. Melupakan pembicaraan ngawur di pagi hari, gue lantas bergegas ke kamar mandi. Daripada makin ke sono pembicaraan ini, lebih baik gue akhiri secepat mungkin.

Pasutri Satu Bimbingan√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang