Operasi Papa Malik berjalan dengan lancar dan sekarang sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Mama Ira menyikut lengan gue dan melirik Kiara yang berdiri di depan pintu ruangan Papa Malik. Dia berdiri di sana memandang tubuh sang papa yang terbaring lemah lewat kaca kecil pintu.Paham akan maksud Mama Ira, gue pun bergegas mendekati Kiara. Gue meraih kedua bahunya sampai dia mendongak, memperlihatkan mata yang letih. Lelah karena menangis dan tentu karena mengantuk.
"Kita pulang aja, Ki. Besok kita ke sini lagi, Papa harus istirahat."
"Mas, gue mau temenin Papa."
"Lo pulang aja karena lo harus istirahat, Ki." Suara itu berasal dari Sadam yang baru saja mendekati kami. Lelaki jangkung bertubuh agak kurus itu pun membagi tatapan antara gue dan Kiara. "Biar gue dan Mas Raja yang jaga Papa. Gue juga sebenernya pengin Mama ikut lo pulang, tapi Mama nggak mau dan pengin di sini."
"Nggak, Mas. Gue juga mau di sini. Mana tau nanti Papa sadar."
Sadam langsung menggeleng dan segera meraih kedua bahu adiknya. Ia menatap Kiara dengan sorot penuh kekhawatiran. Dari dahulu, walaupun agak cuek, tetapi Sadam tipe abang yang super protektif terhadap adiknya.
"Ikut pulang sama suami lo. Kalau Deka nggak mengizinkan, lo nggak boleh maksa atau membantah. Kata dokter juga kemungkinan Papa bakal sadar besok, tapi semoga bisa secepatnya. Lo bisa ketemu Papa besok, oke?"
Tiada jawaban dari Kiara karena kini sepasang matanya yang sembab kembali melirik ke dalam ruangan. Lalu, beralih pada Mama yang duduk ditemani Mbak Nadira. Sampai akhirnya Kiara mengangguk, walaupun gue yakin dia setengah yakin.
Syukurlah, berkat bantuan Sadam, gue enggak perlu membujuk Kiara terlalu keras. Perempuan berponi tipis itu pun segera berpamitan pada Mama dan Mbak Nadira. Sepanjang jalan menuju lobi utama rumah sakit, Kiara sesekali menengok ke belakang. Mungkin langkahnya terasa berat untuk meninggalkan keluarganya di sana.
"Kiara, naik mobil aja sama Papa dan Mama, ya. Nanti masuk angin kalau naik motor sama Deka," ucap Mama Ira.
"Aku sama Mas Deka aja, Ma. Biar sekalian pulang."
Mama Ira hendak membuka mulut lagi, mungkin untuk melayangkan protes. Namun, gue buru-buru memberi kode agar Mama enggak bersuara lagi. Bukan apa-apa, gue cuma enggak mau kami malah mengulur waktu karena menentukan mau pulang bareng siapa. Jadi, akhirnya Mama menyerah dan berpesan agar kami hati-hati.
Sepeninggal mobil Papa Roni, gue menggenggam tangan dingin Kiara menuju motor yang terparkir tidak jauh dari sana. Kiara memang agak bebal, sudah enak baik mobil biar enggak kedinginan. Akan tetapi, dia malah menolak dan menahan diri untuk enggak menggigil.
"Mas, mau ngapain?" tanyanya ketika gue membuka jaket. Tanpa mengucapkan apa pun, gue membantunya mengenakan jaket yang terlihat kebesaran untuk dirinya. "Tapi, lo bisa masuk angin, Mas. Nggak ingat masih harus kerja di tempat Radi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...