Sebagai bentuk perayaan kecil berkat kelancaran sidang skripsi gue dan Kiara, Mama berinisiatif untuk mengadakan acara makan malam bersama. Gue pikir keluarga Kiara enggak bakal diundang, ternyata memang dalang di balik rencana makan malam adalah para ibu-ibu.
Sore ini sambil menunggu azan berkumandang, gue duduk di teras bersama Papa Malik dan Papa Roni. Padahal baru beberapa menit lalu membantu Papa mengecat pagar tanaman hiasnya. Sedangkan para wanita sibuk di dapur.
"Nggak nyangka, ya. Kamu akhirnya bisa lulus juga, Ka. Papa udah capek lihat kamu bolak-balik kampus, tapi betah sampai semester sebelas," ucap Papa Roni sesaat setelah meletakkan gelas teh hangatnya.
Sore begini ngeteh sambil berbincang-bincang memang agak enak, ya. Cuma masalahnya, gue lagi berhadapan sama dua bapak-bapak sepuh. Kalau sama Mas Raja atau Sadam, mungkin bakal sesantai mungkin. Ini sebaliknya, gue mendadak tegang.
"Apa rencana kamu setelah lulus nanti, Ka?" Suara tegas Papa Malik terdengar. Ketimbang Papa gue sendiri, Papa Malik lebih menakutkan—paling enggak bagi gue.
"Cari kerja, Pa."
"Kamu nggak mau kuliah lagi?"
Pertanyaannya membuat gue mengejap selama sekian detik. Seiring dengan saliva yang gue telan keras. Sampai tenggorokan gue rasanya sedikit sakit. Kalau boleh jujur, selama ini gue enggak pernah berencana untuk kuliah lagi. Yang ada di pikiran gue hanyalah; setelah lulus, gue harus kerja. Cuma masalahnya, kenapa mendadak ini mertua malah bertanya seperti itu?
Gue menggeleng pelan. Melirik Papa Roni yang terlihat tidak ingin menolong. Sama sekali. Tidak. Papa Malik pun mengulas senyum setipis serat kain. Gue berusaha menebak-nebak isi pikirannya. Ke mana pembicaraan ini sekiranya akan berlabuh?
"Ya sudah kalau begitu. Kuliah lagi juga nggak harus secepat mungkin. Tapi, Deka ... kamu tahu nggak kalau Kiara dulu sangat ingin melanjutkan pendidikannya. Persis seperti Sadam dan Raja."
Walaupun Si Bocil enggak pernah menyuarakan hal itu, gue memilih mengangguk. Cukup penasaran dengan inti pembicaraan. Papa Malik terlalu bertele-tele membuat gue sedikit gemas.
"Jadi, Papa berniat untuk membiayai pendidikannya lagi. Papa sudah membicarakan dengan Papamu juga. Mengingat kamu adalah suami dan walinya Kiara, ya ... lebih baik Papa utarakan sekarang. Kamu tenang aja, Papa akan membiayai semua kebutuhan Kiara saat menempuh S2-nya. Kamu nggak perlu khawatir, Kiara hanya harus belajar."
Sekian detik gue terdiam mendengar penuturan Papa Malik. Gue tahu niat Papa baik. Orang tua yang peduli akan pendidikan anak perempuannya. Namun, di sisi lain gue merasa keberatan. Mengingat selama menggarap tugas akhir untuk menyelesaikan jenjang strata satu saja, Kiara sampai sakit-sakitan.
Walaupun gue yakin Kiara selalu mampu menghadapinya. Di satu sisi, gue merasa enggak setuju karena Papa Malik bersikeras ingin membiayai pendidikan Kiara. Oke, anggaplah sekarang gue memang pengangguran. Akan tetapi, bukankah gue masih bisa mengusahakannya? Terlebih waktu itu Papa Roni pernah menyinggung hal ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...