Secercah sinar mentari yang menelusup lewat celah kusen membuatku sedikit terganggu. Aku menggeliat samar, tetapi tubuhku terasa tidak bebas. Aroma yang familiar menyergap lubang hidung. Aku membuat pergerakan lagi, tetapi tubuhku seakan-akan terkunci. Dalam pejam, aku berusaha berpikir jernih. Apa yang terjadi denganku?
Sebuah tangan kekar melingkar di pinggang. Demikian juga tangan kiriku yang memeluk seseorang dengan erat. Aku menggeliat lagi, tidak ada perubahan. Aku belum bisa bebas dari kekangan itu. Samar-samar aku membuka mata dan sedikit menahan napas tatkala melihat siapa yang kini tepat berada di depanku. Wajah tenang Mas Deka yang masih terlelap. Aku ingin sekali menjerit, tetapi tampaknya Mas Deka memelukku terlalu erat.
Astaga! Apa-apaan ini? Setengah frustrasi, aku berusaha untuk membebaskan diri. Sayangnya, berada dalam rengkuhan itu sedikit nyaman. Aku kembali menjatuhkan kepala dan memandang lamat-lamat wajah Mas Deka. Jakunnya yang menonjol membuatku meneguk saliva. Iseng, aku menyentuhnya dengan jari telunjuk. Lelaki itu tidak terusik, masih tampak demikian lelap.
Atensiku beralih memandangi wajahnya lamat-lamat. Sampai aku merasa tidak ingin bangkit dari sana. Ya, Tuhan! Mengapa aku tiba-tiba ingin bertahan di posisi itu lebih lama?
Sepasang mataku fokus mengamati bibirnya. Mengulas kembali kejadian semalam dan sontak, pipiku terasa panas. Rasanya aku sangat ingin memiliki kekuatan teleportasi, agar bisa pergi dari hadapannya. Aku meneguk saliva dalam-dalam, ketika menyadari semalam ... ah! Hampir gila rasanya, ketika aku membayangkan kejadian itu.
Aku terusik lagi dan pikiranku mengulas kejadian semalam.
"M-Mas ...." Aku mendesah samar tatkala kecupan-kecupan lembut dari bibirnya berhenti di ceruk leherku.
Namun, Mas Deka tampak tidak peduli. Sementara aku merasakan tubuhku sedikit bergetar. Sesuatu seperti akan meledak hebat karena degup jantungku yang bertalu. Aku mencengkeram lengan Mas Deka berkali-kali. Akan tetapi, usahaku percuma. Toh, saat dia kembali mencium lembut bibirku, aku membalasnya.
Gelap. Meski aku membuka mata, tidak ada ada yang menyapa selain kegelapan. Keringat dingin membasahi punggungku. Oke, ini mungkin berlebihan, tetapi ... please, ini ciuman pertamaku. Berkali-kali mataku terpejam saat membalas lumatan pelan yang dia perbuat. Suara kecapan pecah di dalam ruangan yang gelap.
Sekian detik berikutnya, aku tidak tahu bagaimana ... yang pasti ciuman kami mendadak makin menuntut. Demikian aku yang enggan untuk menghentikan kegiatan itu. Aku mengalungkan kedua tangan di lehernya dan dia dengan bebas mengecup setiap jengkal permukaan leherku.
Sampai ketika ....
"Mas!" Aku menjerit dan mendorong bahunya.
Kamar kami mendadak terang. Tanganku masih melingkar di lehernya. Deru napas kami memburu. Berbenturan di udara seiring sepasang mata yang saling menatap lamat-lamat. Pipiku terasa menghangat seketika. Tak mau kalah dengan degup jantung dan seluruh rongga dadaku yang mendadak panas. Seluruh tubuhku terasa akan terbakar. Dari mana datangnya hawa panas ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...