Mbak Erin melakukan peregangan kecil setelah tiga puluh menit kami berkutat di kursi pojok ruangan lebar dengan belasan rak-rak tinggi. Aroma pengharum ruangan seketika menguar, bersamaan dengan pendingin ruangan yang terasa menembus serat jaket boomber hijau yang aku kenakan.
"Mau makan dulu, Ki? Gue belum sempat sarapan tadi."
"Sama, Mbak. Tadi pagi nggak sempat masak."
"Lo masak? Mandiri banget lo. Mama lo pasti nggak bakal banyak omel, beda kayak gue, Ki. Karena nggak bisa masak, Mama tiap pagi harus bangun subuh."
Aku sedikit geragapan ketika Mbak Erin berkata demikian. Perempuan itu tidak tahu kalau memasak yang aku maksud adalah membuat sereal.
"Ayo!"
Syukurlah dia tidak memperpanjang obrolan tentang masak-memasak. Kegiatan yang sama sekali tidak mudah untukku. Bahkan Mas Sadam pernah mengejekku karena kalah dari Mas Raja yang masakannya super enak-walaupun tidak bisa melampaui masakan Mama.
Ya, soal masak-memasak aku memang payah. Namun, kalau urusan beres-beres rumah, jangan ditanya. Perkara urusan memasak inilah yang akhir-akhir ini sering menyulitkan kehidupanku dan Mas Deka. Mungkin kali ini pikiran kami terhubung, sehingga sama-sama merasa tidak enak pada Mama Ira yang sering mengantarkan makanan ke rumah kami.
Apa gue harus kursus memasak? Minta bantuan Mbak Nadira?
"Ki, penuh banget. Ke warungnya Mbah Suti aja, yuk!"
Suara Mbak Erin menegurku dari lamunan. Ternyata kami sudah tiba di kantin yang menyatu dengan bangunan perpustakaan universitas. Aku melongok dari pintu dan langsung menyaksikan kantin yang ramai. Bahkan tidak tersisa tempat duduk.
"Tapi, Mbak, di sana banyak cowoknya. Males aku."
Mbak Erin malah tersenyum genit dan menyikut lenganku. "Cuci mata. Nggak bosen apa lo lihat layar laptop mulu? Mata gue sepet, nih. Mana tahu abis lihat cowok cakep, jadi seger lagi. Katanya maba sekarang pada cakep-cakep, Ki."
Terdengar kekeh Mbak Erin sebelum melangkah tidak peduli pada pendapatku. Perempuan berkemeja merah marun itu berjalan menyusuri jalanan kecil yang menghubungkan dengan warung kecil di belakang gedung FISIP.
Dugaanku tidak meleset. Tempat itu biasanya dihuni oleh mahasiswa yang sayangnya kebanyakan cowok. Entah di depan kursi-kursi panjang warung atau bangku semen di bawah pohon pinus yang menjulang tinggi. Merokok, tertawa, bernyanyi sambil bermain gitar, dan banyak lagi.
Salah satu yang membuatku malas adalah keberadaan Mas Deka. Ia juga terlihat bergabung di bangku kayu tua di depan warung bersama beberapa temannya.
"Apa gue bilang, Ki? Cowok-cowoknya pada bening." Mata Mbak Erin menjelajahi area sekitar.
Beragam rupa cowok ada di sana. Mulai dari yang berpakaian modis, rapi, sampai yang serampangan apa adanya. Dari yang berambut klimis sampai gondrong tidak karuan. Entahlah, aku tidak tahu yang mana menarik perhatian Mbak Erin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...