Sebenarnya aku enggak terlalu kaget saat Mas Deka menceritakan tentang temannya. Dia punya banyak teman dan pengalaman yang bisa dibagikan kepada siapa saja. Mungkin cewek manapun tidak akan bosan lama-lama bersamanya karena seakan Mas Deka tidak akan kehabisan topik pembicaraan.
Hanya saja aku tidak terlalu tahu harus menanggapi seperti apa. Kami juga tidak sedekat itu untuk saling bercerita lebih jauh kehidupan pribadi masing-masing.
Aku mematut diri di depan cermin kamar mandi. Beberapa saat yang lalu, aku izin ke Mas Deka. Tepat di hadapan cermin, aku meneliti wajah yang sedikit pucat, mungkin efek dari sakit dua hari lalu. Jejak hitam di bawah mata masih belum hilang atau mungkin susah untuk hilang. Efek dari keseringan tidur larut malam.
Begitu serasa wajahku agak segar setelah menyentuh air dingin, aku segera keluar dari sana untuk kembali menghampiri Mas Deka. Kakiku belum sempat melangkah lebih jauh karena terpaksa mundur kembali dan bersembunyi di balik pilar kayu dekat meja kasir.
Mas Deka tidak sendirian. Dari tempatku berdiri, wajah blasteran gadis itu kian familiar. Matanya yang sedikit biru terlihat berbinar ketika berbincang dengan Mas Deka. Terlebih saat tertawa, tampak lepas dan tentu saja menambah kadar kecantikannya.
"Ngapain gue sembunyi?" Setelah menyadari tindakan konyol itu, aku segera menghampiri mereka yang tampak berbincang seru.
Begitu aku tiba, Jane langsung mendongak kaget. Raut wajahnya tidak sebahagia tadi, terkesan seperti seorang cewek lajang yang kedapatan menggoda suami orang-tampak sangat bersalah. Tangannya yang sempat bertengger di atas punggung tangan Mas Deka segera ditariknya menjauh. Dia bangkit dari kursi tempat dudukku.
"Eh, sori. Gue keasyikan ngobrolnya."
"Nggak apa-apa," jawabku santai. Toh, kalau memang mereka ingin mengobrol pun aku tidak masalah. "Duduk aja!"
Aku menggeser kursi lain dan duduk di sana. Jane tampak kaget melihat reaksiku. Aku malah tidak tahu kenapa raut wajahnya terlihat begitu segan terhadapku. Dengan langkah canggung, Jane kembali duduk di tempatnya.
"Jane kebetulan baru dateng," kata Mas Deka, "kami nggak sengaja ketemu. Keterusan ngobrolnya."
Aku tidak peduli dan kurasa aku tidak membutuhkan penjelasan. Sekarang aku malah ingin mangkir dari sana. Ya, buat apa aku berada di tengah-tengah mereka?
Penjelasan Mas Deka hanya kuangguki perlahan. Kayaknya kehadiranku membuat Jane tidak bisa sekespresif tadi. Dia dan Mas Deka berbincang cukup canggung, mungkin karena ada aku. Padahal tadi mereka tampak sangat menikmati kebersamaan itu. Aku sudah pasti menjadi nyamuk di antara mereka. Mungkin saja tidak mau membahas masalah pribadi di hadapanku.
Aku berusaha tak acuh dan sibuk menggulir ponsel. Kecanggungan di antara mereka runtuh dalam hitungan detik. Aku membagi tatapan di antara Mas Deka dan Jane. Mereka kembali berbincang tenang dan membahas beberapa hal yang tidak kupahami, mungkin tentang masa lalu mereka. Namun, aku bisa melihat betapa nyambungnya mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...