"Silakan diminum dulu," ungkap Profesor Rusman sesaat setelah seorang wanita paruh baya meletakkan dua gelas cangkir bening berisi teh hangat.
Sementara pria berperawakan kecil itu memeriksa skripsiku. Berhari-hari telah lewat, aku dan Mas Deka kini makin dekat dengan tujuan kamu. Bukan hanya itu, hubunganku dan Mas Deka juga mulai membaik. Maksudku, kami jarang berdebat seperti hari yang telah lalu. Buktinya, hari ini Mas Deka dengan senang hati mengantarku ke rumah Profesor Rusman untuk bimbingan akhir menjelang sidang skripsi. Padahal Mas Deka sendiri harus bimbingan sore nanti dengan dosen pengujinya ketika ujian proposal beberapa bulan lalu.
Bu Nani dan Pak Hamdan tidak banyak mengomentari naskah akhir skripsi kami. Sebab, aku pribadi tidak mendapat banyak kritikan saat ujian proposal. Satu hal yang membuatku kaget akhir-akhir ini adalah usaha Mas Deka. Pernah sekali aku mendapatinya membawa laptop ke kafe Radi dan usut punya usut, Mas Deka sering mengerjakan tugas akhirnya di sana setelah jam kerja berakhir. Pantas ia sering pulang di atas jam sepuluh malam beberapa hari terakhir.
Untuk itulah Mas Deka mampu mengejar naskahku yang sudah rampung. Aku bahkan tidak bisa berkata apa pun saat dia menjelaskan semuanya. Entahlah ... aku lega sekaligus bangga padanya. Sejak saat itu, sikapku pada Mas Deka pun berangsur lebih hangat. Aku bahkan jarang marah-marah karena tindakannya yang diam-diam itu.
"Kenapa harus konsul lagi, Kiara? Saya rasa kalau dosbing kamu sudah tanda-tangan, saya pun nggak masalah. Artinya kamu sudah siap untuk mengikuti sidang." Suara Profesor Rusman memecah lamunanku.
Pria berambut cepak setengah beruban pun melepas kacamatanya. Mata sipit yang sedikit sayu pun menatap kami secara bergantian. Kulirik Mas Deka yang tersenyum ramah pada Profesor Rusman.
"Saya dengar kalian suami-istri," ungkapnya kemudian. Sudah kuduga, karena cepat atau lambat, hal itu pasti akan dibahas oleh pria ini.
Aku mengulas senyum kalem. Sementara Mas Deka terlihat mengangguk super canggung. Profesor Rusman terbilang orang paling tua di prodi, sekaligus sangat disegani oleh dosen-dosen lain. Aku dan Mas Deka pun berusaha menjaga sikap. Rasanya amat canggung.
"Bagus, wisudanya bisa barengan." Lagi, dia berkomentar sambil tersenyum sesingkat mungkin. "Saya acc saja, ya? Biar kamu segera daftar sidang."
"Ya?" Saking kagetnya, aku sampai tidak bisa mengejap. Reaksiku menghadirkan kekeh pelan Profesor Rusman. "Saya, Pak Hamdan, dan Bu Nani, sering membahas tentang skripsi bimbingan kami. Beberapa, sih, nggak semua. Bahkan kami pernah membahas skripsimu, Kiara. Jadi, kalau mereka sudah nggak ada masalah, saya pun demikian. Kalau saya tambah masalah lagi, nanti kamu kelamaan dan nggak bisa ikut wisuda bulan depan."
Aku masih tidak mempercayai pendengaranku. Ini sudah berhari-hari, tetapi rasanya amat cepat. Mungkinkah ini buah hasil usahaku? Dengan tangan yang sedikit bergetar, aku mengangsurkan selembar kertas persetujuan untuk ditandatangani oleh Profesor Rusman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...