1. Kiara: Istri

14.2K 738 157
                                    

Sejak tadi terdengar helaan napas dari pria berkacamata yang rambutnya setengah beruban

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sejak tadi terdengar helaan napas dari pria berkacamata yang rambutnya setengah beruban. Kulit wajah yang sudah menampakkan usia tidak lagi muda sangat kentara menyiratkan kesal. Agaknya bukan cuma dia yang menahan kekesalan di ruangan berpendingin. Andai saja tidak ada hawa dingin artifisial, si pria mungkin sudah mengamuk.

Satu hal yang membuatku heran, mau-maunya beliau menunggu orang yang seharusnya sudah berada di ruangan ini bersama kami.

"Pak, kita mulai saja. Bisa?"

Aku bisa sedikit bernapas lega ketika Mbak Erin mengeluarkan suara. Aku yakin kalau dari tadi Mbak Erin juga sama kesalnya dengan kami bertiga.

"Sudah coba hubungi Saudara Deka?"

"Percuma, Pak. Kayaknya bolos lagi."

Pria itu Pak Hamdan, dosen pembimbing kami. Terlihat matanya yang menahan jengkel melirik pintu ruangan berkali-kali. Kalau jadi dia, aku pasti tidak akan mau lagi menangani mahasiswa ngaret dan malas.

"Maaf terlambat, Pak. Di jalan macet."

Suara itu membuat kami bertiga menoleh dengan kompak. Sosok tinggi, berkulit putih terawat, berlesung pipi sebelah kanan, dan astaga ... keringat deras menempel di dahinya.

Habis ngapain, sih, dia?

Pak Hamdan menurunkan kacamatanya sehingga bisa melihat jelas sosok yang sekarang duduk di sampingku. Kudengar Mbak Erin ngedumel karena waktu bimbingan kami molor sekitar sepuluh menit lebih.

"Lain kali kalau Saudara terlambat, saya tidak bisa mentolerir."

Lelaki itu hanya mengangguk dan nyengir sampai matanya yang sipit akan ditenggelamkan kelopak mata. Aku keki sendiri melihat wajahnya yang tanpa dosa. Kalau niat bimbingan, effort sedikit buat bangun pagi. Namun, mau diteriaki pakai toa masjid pun kurasa dia tidak bakal ngeh.

Pak Hamdan mulai memeriksa proposal kami satu persatu. Sesekali mengangguk, lalu mencoret beberapa poin yang baginya harus dibenarkan. Proposal Mbak Erin lolos tanpa banyak coretan. Ketimbang kami, Mbak Erin sudah tiga kali konsultasi.

Judul penelitianku baru-baru ini keluar dan tentu saja aku tidak secepat Mbak Erin. Begitu juga dengan si Deka-Deka ini. Kukira karena satu tingkat di atas kami, dia akan tinggal mengurus penelitiannya. Namun, hei! Ingatlah ini, menjadi kakak tingkat tidak berarti ia sudah jauh melangkah di atasmu. Maksudku dalam hal tugas akhir ini.

"Kiara Purnama Larasati?" Pak Hamdan melirikku sesaat dari balik kacamatanya yang tipis berbentuk persegi.

"Saya, Pak."

Pasutri Satu Bimbingan√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang