17. Kiara: Ingkar Janji Bikin Keki

3.7K 340 3
                                    

"Niat mengerjakan revisi nggak, sih? Jam segini masih belum dateng?" Aku menggerutu untuk ke sekian kali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Niat mengerjakan revisi nggak, sih? Jam segini masih belum dateng?" Aku menggerutu untuk ke sekian kali.

Selama hampir setengah jam aku menunggu Mas Deka dan ini sudah lewat dari jam janjian kami. Mungkin orang-orang yang berlalu-lalang agak heran melihatku duduk di kursi yang sama sejak beberapa menit lalu. Punggung dan pantatku sudah terasa kebas. Sementara yang ditunggu tidak kunjung kelihatan batang hidungnya.

Aku mencoba menghubungi lewat sambungan panggilan ponsel, tetapi tetap tidak ada jawaban. Terhubung, tetapi tidak dijawab. Sialan! Aku mendumel sejadi-jadinya dalam batin.

Kalau tau begini, mending aku menikmati waktu santai di rumah sebelum bertemu Bu Nani minggu depan. Mas Deka malah asyik mangkir dari janjinya semalam.

"Ke mana, sih? Bikin janji gampang, ingkar juga gampang! Sialan."

Masih mengoceh sebal, aku memilih bangkit dari tempat. Sampai kursi besi itu sedikit berkeriut. Pulang adalah kata yang tepat setelah ... astaga, hampir satu jam aku menunggu! Sesibuk apa dia sampai lupa dengan janjinya sendiri?

Sore makin terasa membungkus ibu kota. Suara ajian-ajian menggema dan sebentar lagi azan Asar berkumandang. Aku terpaksa memilih pulang karena tidak sanggup lagi untuk menunggu. Sementara yang ditunggu pun makin tidak jelas kehadirannya.

Setelah memesan ojek online, aku meninggalkan area kampus dengan abang ojol. Semoga saja Mama Ira melihatku pulang diantar tukang ojek, biar sekalian anak bungsunya itu kena marah, kena omel! Astaga, aku benar-benar ingin mencincang Mas Deka!

Berselang sepuluh menit kemudian, aku tiba di area perumahan. Sial, kali ini Mas Deka selamat. Pasalnya, tidak ada tanda-tanda Mama Ira mengobrol dengan tetangga atau Mamaku di depan gerbang rumah.

Lo beruntung kali ini, Mas!

Lepas sampai di rumah, aku segera melangkah sambil menghentakkan kaki. Saking kesalnya karena menunggu sampai setengah jam ... tidak, tetapi satu jam.

Bahkan berjam-jam berikutnya saat hari mulai memasuki waktu Magrib, tidak ada tanda-tanda kepulangan Mas Deka. Sebenarnya apa, sih, yang dia lakukan di luar sana?

Dalam kondisi normal, aku mungkin tidak akan peduli kapan pun dia akan kembali ke rumah. Sayangnya, hari ini mulutku gatal ingin mengomel karena sudah dibuat menunggu. Enak sekali dia lupa pada janjinya semalam? Keterlaluan.

"Kiara?" Terdengar suara panggilan dari arah pintu utama.

Aku buru-buru bergegas setelah selesai menunaikan salat Magrib. Bahkan mukena putih dengan renda di ujungnya pun masih menutupi sebagian tubuhku. Terlihat Mbak Nadira di sana, datang membawa si gemas Ayana yang giginya jarang-jarang akibat makan yang manis-manis.

"Kenapa, Mbak? Aku kira Mbak nggak di rumah Mama."

"Hm, kenapa? Mbak nggak boleh dateng ke sini? Lagi salat sama Deka, ya?" goda iparku.

Pasutri Satu Bimbingan√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang