"Argh! Sialan! Ini semua gara-gara lo, Mas."
Baru kali ini gue melihat Kiara demikian murka. Bahkan gue enggak bisa berkata apa pun karena kebenaran yang gue terima sekarang. Bukankah Jane sudah berjanji untuk enggak membeberkan semuanya? Ini rahasia di antara kami, tetapi mengapa Jane tega membeberkan semuanya? Pikiran gue mendadak enggak tenang. Wajah Jane berkelebat selama beberapa saat. Mengalihkan fokus gue dari Kiara yang masih bersungut-sungut.
Sependek pengetahuan gue, Jane enggak mungkin akan melakukan hal-hal seperti ini. Gue percaya sama dia, persis seperti kami masih pacaran dulu. Namun, Jane malah merusak kepercayaan yang sudah gue berikan. Saat ini gue hanya ingin bertemu Jane untuk memastikan semuanya. Akan tetapi, gue juga enggak bisa kabur begitu saja. Mengingat Kiara masih di sini. Kalau gue kabur dan memilih mangkir dari bimbingan dengan Bu Nani, Si Bocil jelmaan Dora bisa saja makin marah atau ... membenci gue saking kecewanya.
Gue benar-benar kesulitan mencari kosakata yang tepat untuk memulai berbicara. Lidah gue mendadak kelu seiring rasa bersalah yang kian betah bermukim di dada. Apalagi melihat Kiara yang tampak menahan kemarahannya. Wajah frustrasi gadis itu menyiratkan kekecewaan. Gue enggak kaget sebenarnya, mengingat bagaimana selama ini Kiara sangat menjaga rapat-rapat hubungan kami. Merahasiakannya bahkan dari Erin.
Namun, secepat kilat kebenaran tentang hubungan gue dan Kiara menyebar. Enggak mau menuduh, tetapi cuma Jane yang tahu tentang hubungan pernikahan gue dan Kiara, bukan?
Setelah sekian detik terdiam merasakan perasaan yang campur aduk, gue akhirnya angkat suara. "Ki, kita bahas nanti di rumah, ya. Bimbingan dulu sama Bu Nani, takutnya beliau menunggu."
Tanpa menjawab, Kiara berderap setelah menyenggol kasar lenganku. Dari sikapnya tadi, aku menjamin kalau nanti setelah tiba di rumah, akan ada perdebatan lagi. Namun, kali ini gue berusaha untuk enggak terlalu meladeni dengan membalas setiap perkataannya. Sebab gue sadar ... gue salah dan ikut andil jika memang Jane yang menyebarkannya. Gue sendiri yang membocorkan hal tersebut pada Kiara di saat seharusnya tidak ada yang mengetahui kecuali aku dan Kiara, juga kedua pihak keluarga kami.
Sial!
Benar dugaan gue, ternyata Kiara enggak membuka mulut sedikit pun saat gue berhasil menyusul langkahnya. Perempuan itu juga sengaja sekali menjaga jarak karena gue sendiri merasa beberapa kali diperhatikan oleh beberapa mahasiswa yang setahu gue seangkatan dengan Erin. Sialan! Kayaknya gosip itu memang sudah mulai menyebar. Oh, padahal ini bukan gosip, tetapi kenyataan yang sebenarnya.
Akan tetapi, gue berani bertaruh kalau Kiara enggak akan pernah mau mengakui fakta yang ada. Enggak sampai dirinya mangkat dari kampus. Gara-gara ulah gue, kini Kiara mungkin kehilangan kepercayaan terhadap gue, suaminya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomansaKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...