"Ya udah, ayo gue traktir! Itung-itung sebagai tanda terima kasih karena udah bantuin gue."Sebenarnya keinginan gue adalah mengomentari nada bicara yang tumben-tumbenan agak halus. Ternyata dia tahu juga cara berterima kasih. Walaupun gue enggak mengharapkan hal tersebut karena murni pengin membantu.
Melihat semangat juang Kiara demi menuntaskan Tugas Akhir entah kenapa hati gue mendadak tersentuh. Gue benci harus memikirkannya, tetapi pikiran itu tetap ada. Tentang bagaimana Kiara sangat mementingkan pendidikan dan masa depannya, sedangkan gue malah terlalu sering bersantai ria. Kadang-kadang gue iri karena dia memikirkan semuanya masak-masak, sementara gue ... gue bahkan benci harus membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain.
"Mas, ayo! Kenapa malah bengong di situ? Jangan nyusahin orang yang mau lewat, deh." Nada bicara Kiara yang agak ketus mulai kembali.
Benar, sejak tadi gue berdiri di tengah koridor dan membuat beberapa mahasiswa mendelik kesal. Gue buru-buru menyusul langkah gadis itu. Untuk kali ini gue memang pengin terus bareng dia. Enggak, bukan dalam artian ada somethin' special gitu, tapi karena gue pengin semangat juang Kiara menular juga ke gue.
"Kita makan di mana, nih?" tanya gue begitu tiba di area parkir, tepat di depan motor butut gue.
"Ada saran nggak? Gue nggak bisa milih tempat, nih. Males mikir."
Memang agak lain, ya, bocah ini! Dia yang menawarkan, tetapi tidak tahu mau ke mana. Ya, minimal sudah ada plan di dalam batok kepalanya. Biar tidak lagi meributkan tujuan.
Untungnya ada satu tempat yang langsung melintas dalam benak gue. Jadi, untuk meminimalisir waktu, gue segera menyerahkan helm padanya. Syukur juga Kiara enggak banyak omong sehingga kami segera mangkat dari area parkir gedung FEB.
Kami menempuh waktu sekitar delapan menit karena macet yang lumayan sore itu. Kiara juga duduk anteng, enggak berkomentar sama sekali. Barulah ketika sadar kami sudah berada di Kemang-artinya sudah dekat dari rumah-Kiara tampak mengamati gue dari pantulan kaca spion.
"Kita mau balik?"
"Makan dulu. Kan, lo udah janji mau traktir."
"Lo sengaja bantu gue biar gue ngerasa berhutang budi, ya? Licik banget lo, Mas. Gue curiga tontonan dan bacaan lo pas kecil pasti dongeng si kancil, ya?"
Sungguh di luar dugaan dia bakal berpikir demikian. Rasanya pengin banget gue cincang ini bocah, sudzon mulu jadi orang.
Baiklah, karena kebetulan gue enggak mau ada perdebatan di jalan dan demi menjaga kedamaian sore ini, gue memilih menyengir lebar penuh kepalsuan. Tempat tujuan kami pun sudah terlihat di depan mata. Gue segera memarkirkan motor di depan sebuah kafe kecil bertema retro yang terletak di antara deretan bangunan.
Sebenarnya kafe itu ada di lantai dua. Ada anak tangga besi yang sempit di antara celah bangunan. Sedangkan lantai satu diisi oleh toko elektronik. Gue yakin Kiara pasti enggak akan asing dengan tempat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...