Kecanggungan kian terasa di antara kami. Oh, jangan lupa ini akibat dari perkataan Kiara yang cukup berani. Sebenarnya gue agak tergelitik geli mendengar kata-katanya tadi. Apalagi saat demikian berani menantang Jane. Wajah Jane yang merah padam dan tampak tidak bisa berkata-kata membuat gue ingin ketawa. Namun, mau bagaimana lagi? Wajah Kiara yang memerah karena kepergok oleh gue, ternyata lebih menarik. Lucu.Sesekali gue menoleh ke arah spion. Terlihat Kiara sibuk memandang jalanan. Gue iseng menarik gas motor agar lajunya lebih cepat. Kiara terkesiap dan refleks memeluk pinggang gue. Tatapan sewot pun terlihat dari pantulan kaca motor.
"Jangan macem-macem, Mas! Gue nggak mau kenapa-kenapa di jalan."
"Sori, nggak sengaja."
"Modus amat jadi orang!" Dia lekas menarik tangannya yang sempat melingkar di pinggang gue.
"Modus sama istri sendiri, nggak apa-apa kali, Ki. Bukannya lo tadi yang bilang kalau kita nggak masalah mau ngapa-ngapain, kita bukannya udah sah, ya? Suami-istri." Gue sengaja mengatakannya penuh penekanan.
Perkataan yang sukses membuat Kiara menepuk kencang pundak gue. Bukannya kesal, gue malah mengekeh pelan. Gemas melihat Kiara yang kesabarannya setipis tisu. Tanpa kami sadari, ternyata sudah dekat dari rumah.
Kali ini gue membawa motor menuju rumah Papa Malik. Sebab diundang makan malam oleh Mama ke sana. Itu pun gue tahu dari Kiara yang beberapa menit lalu memberikan kabar tersebut. Begitu tiba di halaman rumah Papa Malik yang sempit, terlihat Ayana keluar dari rumah dan berlari menyambut kami.
"Om Deka!" jeritnya melompat-lompat pelan saat menunggu gue mematikan mesin motor dan melepas helm. "Gendong!"
"Duh, udah berat gini minta digendong. Lain kali kamu sadar, dong! Sudah besar."
"Mas!" ketus Kiara.
Ayana malah terkekeh geli mendengar gue. Detik berikutnya, kecupan singkat anak itu mendarat sempurna di pipi gue. Nyatanya memang Ayana lebih senang kalau gue ke rumah ini. Daripada didatangi tantenya, alias Kiara yang memang suka marah-marah kalau Ayana rewel. Gadis kecil itu pun enggak memedulikan Kiara lagi dan sibuk mengalungkan lengannya di leher gue.
"Tante jangan cembulu gitu, dong. Hali ini Om Deka jadi suaminya Aya dulu."
"Heh, nggak boleh. Masih kecil."
"Tante juga bocil kata Om Deka. Iya kan, Om?"
Kedua mata Kiara langsung menatap gue. Tatapan tajamnya membuat gue menyengir kaku. Perempuan itu langsung memasuki rumah dan menghampiri Mbak Nadira dan Mama yang sedang sibuk di dapur. Oke, terpaksa gue harus meladeni si kecil Aya setelah ini. Bahkan kalau Mas Raja pulang pun, gue jamin dia enggak bakal mau sama papanya.
Ya, wong gue ini kerap dinistakan olehnya.
"Om, Aya mau main plinces. Om mau jadi Plinces Elsa, ya. Nanti Aya yang dandanin Om."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...