Hari yang dinantikan oleh aku dan Mas Deka pun tiba. Jadwal ujian kami jatuh pada hari ini. Setelah sekian hari menunggu, aku dan Mas Deka benar-benar harus menaklukkan hari ini. Sayangnya, ruangan kami terpisah. Sebelum masuk ke ruangan-satu jam lalu-aku memperingatkan Mas Deka untuk semangat. Juga tidak lupa berdoa demi kelancaran kami.
Kini setengah jam sudah berlalu dan pembacaan berita acara pun baru saja tersampaikan. Semua audience yang kebetulan adalah beberapa adik tingkat pun ikut menyuarakan ucapan selamat. Tepuk tangan riuh tatkala Profesor Rusman-pengujiku-menuturkan bahwa usulan proposalku diterima. Maka aku berhak melanjutkan langkah berikutnya.
Di antara banyaknya peserta, aku melihat Hilda dan beberapa teman kelas yang datang. Rasa takut dan tidak tenang sejak pengumuman jadwal ujian pun kini mulai berangsur hilang. Aku sedikit lega karena usahaku tinggal beberapa langkah lagi. Akan kupastikan Papa bangga dengan ini. Berakhirnya acara proposal seminar pun menutup pertemuan tersebut.
Pak Hamdan menghampiriku. Wajahnya yang tenang membuatku tersenyum. "Selamat, ya, Kiara. Bapak senang karena kamu sudah bisa melewati tahap ini."
"Terima kasih, Bapak sudah menyempatkan diri untuk datang dan juga membantu saya memperbaiki proposal."
Pria berambut setengah beruban itu tersenyum tulus. "Lanjutkan bersama Saudara Deka, ya. Saya menanti kalian mengenakan toga bersama."
Diam-diam, aku mengaminkan ucapan itu dalam angan. Oh ya, Bu Nani ada di ruangan sebelah. Tepat di mana Mas Deka melewati ujiannya. Kebetulan aku juga tidak sendiri. Ada salah satu senior seangkatan Mbak Erin yang juga ujian hari ini. Entahlah, mengapa bisa aku dan Mas Deka tidak disatukan dalam ruangan yang sama. Padahal kami satu pembimbing.
Sepeninggal Pak Hamdan, Profesor Rusman, dan dua dosen lainnya, terlihat Hilda dan beberapa teman kelasku mendekat. Melihat kehadiran mereka juga membuatku senang. Pasalnya, merek ternyata masih mengingatku.
"Selamat, ya, Kia! Akhirnya, selangkah lebih dekat dengan tujuan kita," ucap Hilda seraya menyerahkan sebuket bunga berukuran besar untukku.
"Terima kasih, Hilda. Terima kasih semuanya."
"Kiaraaa!"
Kini suara itu membuatku menoleh. Mbak Erin berlari memasuki ruangan. Tampak kewalahan karena membawa buket dan paper bag di tangannya. Tanpa basa-basi, perempuan itu memelukku dengan erat. Aroma vanilla dari parfumnya menyesaki lubang hidung siapa pun yang masih ada di sana. Kupikir Mbak Erin tidak akan datang.
"Selamat ya, Kiara Sayang. Duh, gue sebagai bimbingan Pak Hamdan juga bangga banget sama lo!" Dia tidak lupa melepas pelukan kami. "Nih, buat lo." Dia menyerahkan paper bag berukuran besar.
"Trims, Mbak!"
"Kalau yang ini buat Bang Deka," katanya melirik buket bunga. "Lo nggak cemburu, kan, gue ngasih Bang Deka beginian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...