"Ada proyek besar, Ka." Suara Rega membuat gue urung mengenakan helm. Sambil mengangkat ponselnya tinggi-tinggi, dia menatap gue dengan sorot berbinar. "Besok gue kasih tau. Lo jangan lupa ke sini!"Sebelum gue menjawab, Rega sudah lebih dahulu menempelkan ponsel di telinganya lagi. Sosoknya yang kurus dengan rambut jabrik lantas nyelonong memasuki area bengkel. Gue memutuskan untuk melanjutkan langkah, pulang.
Jarum jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Berjam-jam yang lalu, gue menyibukkan diri di bengkel Rega. Membantu apa pun yang gue bisa. Ketertarikan gue pada mesin-mesin kendaraan itu mungkin enggak sebesar Rega sampai punya proyek segala. Namun, gue tetap belajar dan Rega rela mempekerjakan gue di sana. Kadang-kadang membantu dia mengurus keluhan-keluhan pelanggan pada kuda besi mereka.
Papa pernah bilang kalau beliau bisa saja mencarikan pekerjaan yang lebih bagus, mengingat relasinya yang banyak. Akan tetapi, kalau belum lulus, gue menolak tawaran itu. Sebab lebih suka bekerja bersama teman-teman.
Gue tiba di rumah sekitar jam sebelas kurang. Mungkin kalau Papa atau Mama masih terjaga, gue pasti bakal diomelin sampai besok. Agaknya malam ini gue diselimuti keberuntungan. Rumah mereka sudah sepi, hanya ada sinar lampu neon di teras.
"Eh, astagfirullah!" Gue berjengit mundur tatkala menatap sosok yang berdiri di depan dispenser sambil meneguk air di gelas yang transparan. "Lo belum tidur?"
"Menurut lo?" Suara Kiara masih terdengar enggak bersahabat sejak perdebatan kami kemarin.
"Udah malem, Ki. Lo lebih baik tidur, jangan begadang! Itu juga kalau lo nggak mau sakit lagi."
"Gue nggak sakit." Kiara malah berjalan melengos di depan gue menuju ruang belajar.
Baiklah. Mungkin karena dia masih kukuh juga pada aturan main kami yang enggak tertulis itu, gue pun enggak mau meladeninya lagi. Kebetulan gue juga lagi capek. Lebih baik gue diam untuk menghindar dari perdebatan ... misalnya.
Jarum jam menunjukkan pukul sebelas lebih saat gue keluar dari kamar mandi untuk membersihkan diri. Hawa dingin memeluk tubuh gue erat-erat, melesak masuk lewat serat kaus hitam yang gue kenakan.
Sebelum beranjak ke ranjang, gue kepikiran Kiara. Malam setelah kami berdebat, gue merasa sangat gengsi mengajaknya tidur di kamar. Itulah kebodohan gue. Paling enggak harusnya gue punya sedikit belas kasihan dan sebagai lelaki sejati harusnya gue membiarkan Kiara tidur dengan nyaman. Alih-alih bertindak seperti lelaki sejati, gue malah membiarkan dia tertidur di sana.
Gue melangkah ke arah pintu. Ah, sial! Lagi-lagi gengsi merasuki benak gue. Teringat juga bagaimana reaksi Kiara sejak kami berdebat. Dia pasti masih jengkel banget sama gue.
"Ah, terserahlah!"
Gue mengacak rambut sesaat dan kembali ke tempat tidur. Kiara seolah memintanya sendiri-maksud gue menjaga jarak dan memperingati gue kalau seharusnya kami enggak saling memperhatikan. Walaupun itu gue tangkap dari sikapnya yang ketus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...