Pada akhirnya aku mengakui itu; perasaanku. Rasanya tidak ada lagi kecanggungan yang hadir di antara kami. Aku bahkan dengan bebas berbicara atau menatap Mas Deka. Serupa denganku, Mas Deka juga tidak segan menunjukkan perhatiannya lagi.
Syukurlah. Itu berarti hubungan kami benar-benar sudah makin membaik.
"Papa udah sadar, tapi masih butuh istirahat. Nggak apa-apa ketemunya nanti aja, kan?" tanya Mama yang baru saja keluar dari ruangan tempat Papa dirawat.
Aku mengangguk takzim di samping Mas Deka. Walaupun Mama berkata nanti, tetapi aku tetap menoleh pada kaca kecil di pintu. Memeriksa keadaan Papa dari kejauhan. Papa terlihat tengah beristirahat, walaupun sudah mulai sadar dari koma.
"Ki, temani Mama makan siang sebentar, bisa?"
"Bisa, Ma." Aku lantas melirik Mas Deka. Tanpa berkata atau menyuarakan keinginanku untuk meminta izin, Mas Deka segera mengangguk seakan-akan paham akan tatapanku.
Detik berikutnya, aku menemani Mama menyusuri koridor yang membawa kami menuju kantin kecil di lantai satu rumah sakit. Tumben Mama mengajakku makan bareng setelah beberapa hari di rumah sakit. Mungkin selera makan Mama sudah kembali seiring dengan kondisi Papa yang mulai membaik.
Setelah memesan sepiring nasi campur, Mama memintaku duduk di hadapannya. Aku tidak makan karena memang sudah kenyang sejak tadi. Itu pun Mas Sadam yang memintaku dan Mas Deka untuk makan siang terlebih dahulu. Jadi, kami saling bergantian untuk berjaga di depan kamar rawat Papa.
"Mama jadi kehilangan nafsu makan beberapa hari ini. Makan yang banyak, Ma. Kalau perlu nambah lagi," cetusku sambil membantunya membuka botol air mineral.
Mama hanya mengulas senyum dari bibirnya yang sedikit pucat. Kulit sawo matangnya terlihat kering dan tidak terawat. Sejak Papa kecelakaan, Mama memang tidak ada sempat untuk mengurus dirinya sendiri. Seharian dia hanya akan sibuk mengurus Papa.
"Ki, Mama boleh minta tolong?"
"Tanpa minta tolong pun, aku bakal bantu Mama. Apa yang bisa aku lakukan?"
Gerakan tangan Mama yang sedang mengaduk nasi dengan sendok aluminium pun terhenti. Beliau mendongak dan sepasang matanya yang sayu fokus pada kedua indra penglihatanku. Tatapannya menghadirkan rentetan pertanyaan dalam benakku, tetapi aku masih enggan untuk bertanya. Hanya menunggu agar Mama sendiri yang melanjutkan kalimat tadi.
"Mama tau ini mungkin terkesan jahat dan bukan berarti Mama nggak memikirkan kamu. Apalagi nggak memikirkan Deka. Tapi, Kiara apa kalian bisa mempertimbangkan kembali keinginan Papamu? Mama nggak mau pikiran Papa terusik karena hal itu, ujung-ujungnya dia nggak bisa fokus, nggak bisa betah di rumah, lalu ...."
Kalimat Mama tertahan di udara karena mungkin hendak mengungkit masalah kecelakaan. Sementara tanganku di bawah meja sudah saling meremas satu sama lain. Keringat dingin melapisi permukaan tanganku saat mendengar penuturan Mama. Degup jantungku bertalu kaget karena pada akhirnya Mama berpendapat demikian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
Roman d'amourKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...