Sidang kami tidak bisa dianggap berjalan lancar sepenuhnya. Terlebih aku. Pertanyaan yang bertubi-tubi membuatku sedikit kewalahan. Aku sampai kehilangan kata-kata untuk menjawab selama sekian detik. Walau pada akhirnya dengan nada gugup, aku bisa menjawab pertanyaan itu. Bohong kalau perasaanku tidak waswas. Bahkan air mata berderai ketika sidang skripsiku rampung. Pak Hamdan dan Bu Nani tertawa kecil melihat aku yang menangis.
Padahal tiga jam lalu saat Mas Deka lebih dahulu melangsungkan sidang, dia terlihat baik-baik saja. Mas Deka keluar dari ruangan dalam kondisi yang terlihat tidak kacau. Maksudku, berbeda jauh dengan aku sekarang. Mata dan hidungnya sudah memerah karena menangis. Rasa nyeri dan gugup membuat tanganku terasa dingin, seiring dengan lutut yang terasa lemas.
Namun, hari ini kami jauh lebih bahagia karena berhasil menyelesaikan sidang. Begitu sesi foto bersama kedua dosen penguji dan pembimbing, terlihat Mas Deka berjalan mendekat. Ruangan yang kami tempati sebentar lagi-tepatnya setengah jam lagi-akan digunakan untuk sidang mahasiswa lain.
"Mas?" sapa gue saat cowok itu berjalan memangkas jarak kami.
"Ya, ampun! Lo sampai nangis gini." Dia malah terkekeh senang, serupa dengan apa yang Pak Hamdan dan Bu Nani lakukan.
"Nggak usah ketawa!"
"Ututuuu ... jangan nangis, dong! Sekarang, kan, udah mulai kurang beban kita, Ki. Apa nggak sebaiknya kita rayakan aja?"
"Apanya yang kurang? Abis ini harus revisi lagi, daftar yudisium, wisuda."
Lelaki jangkung dengan tinggi 180 sentimeter itu menggaruk belakang kepalanya. Ia nyengir lebar selama beberapa saat. Apa aku terlalu berlebihan?
"Nggak ada salahnya self reward, kan?" Mas Deka kembali bersuara.
Aku menghela napas, lantas membiarkan sepasang mata yang terasa masih basah untuk menatap lelaki itu. Mas Deka masih dengan senyum khasnya. Nyengir selebar mungkin sampai matanya seperti akan menghilang. Rongga dadaku mendadak terasa nyeri, apalagi saat mengingat kata-kata Papa Malik.
Semua ucapannya hari ini kembali terputar di benakku. Bagaimana ini? Aku harus membicarakannya lagi dengan Papa. Oh, sekarang pun kami sudah selesai sidang. Aku tidak akan kaget kalau Mas Deka menagih janjiku untuk menceritakan apa yang selama beberapa hati menyita fokusku.
Tangan panjangnya meraih tote bag besar yang ada di atas meja, berisi beberapa berkas naskah skripsi kami. Sementara aku menyampirkan tas ransel. Kami keluar dari ruangan itu, bersiap-siap untuk pulang.
Sepasang kakiku berhenti tatkala melihat Mbak Erin duduk di kursi depan ruang prodi. Begitu kedua mata kami bertumbukan, Mbak Erin segera tersenyum lebar dan mendekat. Oh ya, Mbak Erin sudah sidang minggu lalu dan senangnya, kami bisa wisuda bersama.
"Selamat, ya, udah bisa dapet gelar sekarang. Akhirnya perjuangan lo dan Bang Deka terbayarkan," ungkap perempuan ber-cardigan hijau gelap.
"Mbak nungguin di sini, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...