"Berarti wawancara bisa besok?" tanya Mas Deka seiring dengan tangannya yang menyingkirkan tusukan sate.
Aku yang duduk di hadapannya pun mengangguk takzim. Sejak tadi Mas Deka lebih sibuk membantuku membebaskan irisan daging kecil-kecil di tusukannya. Sementara dia hanya menikmati potongan lontong yang dicocol pada bumbu kacang. Kami mampir di kedai sate begitu hari beranjak petang. Itu juga karena aku yang minta. Mas Deka pun tidak keberatan, padahal aku tahu hari ini dia pasti lelah.
"Semua dokumen yang gue butuhkan, salinannya udah diberikan sebagian. Gue nggak mau menunda ini, Mas. Lebih cepat, lebik baik."
"Iya, tapi lo harus jaga kesehatan juga, Ki. Gue nggak mau lo sakit kayak waktu itu. Siapa juga yang repot kalau lo sakit? Gue."
"Kesannya lo nggak ikhlas, pake diungkit-ungkit segala."
"Gue ikhlas, tapi gue cuma memperingatkan lo. Heran, pikiran lo kenapa suudzon mulu ke gue."
Aku hanya mengangkat bahu dan kembali melanjutkan aktivitas makan malam tersebut. Ya, kusebut makan malam karena nanti setelah sampai di rumah biasanya aku tidak makan lagi. Apalagi hari ini rasanya sedikit lelah. Walaupun tidak banyak kegiatan, tetapi enggak di rumah seharian kadang membuatku merasa capek.
Terkadang aku butuh waktu untuk sendiri. Melenyapkan semua rasa lelah dan mengumpulkan energi baru demi menjalankan aktivitas lagi. Akan ada masa itu nanti. Masa tenang setelah aku benar-benar bisa bebas dari tugas akhir ini. Tentu saja aku tidak sabar untuk menjemput hari itu.
"Buruan abisin makannya." Mas Deka memperingatkan sambil melirik jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan. Sepasang matanya menatapku lamat-lamat. "Kalau laper, nambah aja lagi. Gue bayarin."
"Nggak usah. Ini aja cukup, kok. Lagian gue nggak mau punya utang ke lo."
"Ngomong apa, sih? Gue nggak pernah perhitungan sama istri sendiri."
Kunyahanku melambat saat mendengar penuturannya. Padahal dahulu kami sangat enggan menyebut kata itu—walaupun fakta berkata kami memang sepasang suami-istri. Kayaknya mulai sekarang aku harus terbiasa. Menyebut Mas Deka sebagai suamiku dan begitu pula sebaliknya. Aku menunduk menyembunyikan pipi yang mendadak menghangat.
"Tapi, uang gue, ya, uang gue. Uang lo, ya, uang lo," gumamku.
"Gue tau, Ki. Nggak usah dipermasalahkan. Intinya selama gue beli barang, makanan, ataupun apa pun buat lo, gue nggak masalah."
"Udah gue bilang juga, uangnya ditabung aja."
Mas Deka mengangguk takzim. "Iya, Bocil. Tapi, masa gue nggak boleh beli buat istri sendiri?"
Aku menahan napas sesaat. Hari ini sudah dua kali dia menyebut; istri. Tepat di depanku dan membuat aku lagi-lagi merasa sedikit salah tingkah. Dari mana datangnya degup jantung yang mendadak bertalu hebat. Semoga saja Mas Deka tidak menyadari tingkahku yang sedang berusaha menghindar dari tatapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...