55. Kiara: Pasti Baik-baik Aja

3.2K 434 12
                                    

"Halo, Mama? Tumben banget nelpon aku, biasanya juga langsung ke sini kalau ada perlu atau minta Mas Sadam yang chat aku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Halo, Mama? Tumben banget nelpon aku, biasanya juga langsung ke sini kalau ada perlu atau minta Mas Sadam yang chat aku."

"Kiara ...."

Suara Mama yang terdengar sedikit berat membuatku menjauhkan ponsel dari telinga. Aku mengurungkan niat untuk mengupas apel yang diberikan Mama Ira beberapa waktu lalu. Sambil menunggu Mas Deka pulang dan memang lagi butuh waktu buat sendiri, aku pun memutuskan untuk bersantai di ruang tengah.

Namun, panggilan dari Mama membuatku menyingkir dari depan televisi yang menyala.  Suara kasak-kusuk dari speaker ponsel kini terdengar, diikuti suara sirine ambulans setelahnya. Perasaanku mendadak terasa tidak enak.

"Mama, ada apa?" tanyaku memastikan lagi.

"Kiara, lo di rumah, kan? Lo ke rumah sakit buruan, Papa ... Papa kecelakaan, Ki."

Itu suara Mas Sadam dan detik berikutnya, ponsel di tanganku turun ke sisi tubuh. Kedua telingaku samar-samar mendengar suara Mas Sadam di mana sambungan panggilan masih belum terputus. Kedua kakiku terasa lemas seketika, bahkan aku sampai tidak bisa menopang tubuh sendiri. Aku mencengkeram sisi bufet, berusaha untuk menenangkan pikiran.

Namun,berbagai asumsi buruk malah menyerang pikiranku. Membayangkan Papa berada di rumah sakit membuat rongga dadaku terasa menyempit. Aku menggebuk dada beberapa kali, masih belum siap untuk berdiri tegak lagi dan keluar dari rumah. Oh, atau bahkan sekadar menggenggam ponsel.

"Kiara?"

Panggilan itu membuatku menoleh, Papa Roni dan Mama Ira masuk tergopoh-gopoh. Terlebih mata Mama Ira yang sudah memerah. Aku yakin keduanya sudah mendapat kabar itu. Mama Ira langsung menghambur memelukku sesaat.

"Kita ke rumah sakit sekarang," ajak Papa Roni berjalan keluar lebih dahulu.

"Papamu pasti baik-baik aja, Ki. Ayo, kita ke sana dan tenangin diri kamu dulu." Mama Ira pun bersuara, tetapi aku masih belum bisa berkata apa pun.

Seluruh kosakata yang tersimpan di balik tempurung kepalaku seolah-olah raib. Aku menyerat langkah saat Mama Ira menggandeng tanganku keluar dari rumah. Suara deru mobil Papa Roni pun terdengar dan Mama Ira segera membantuku naik ke sana.

Dalam perjalanan itu, aku tidak banyak bersuara. Perasaanku masih terasa sakit karena cemas dan takut yang bercampur menjadi satu. Apalagi saat tadi mendengar suara Mas Sadam, bukan suara Mama. Kedua mataku mendadak terasa panas saat mengingat akhir-akhir ini aku dan Papa merasa menjadi renggang.

Mama Ira yang duduk di sampingku lantas menggenggam kedua tanganku. Ia tidak berkata apa pun, tetapi sorot matanya seakan-akan meminta agar aku tenang. Akan tetapi, mana bisa aku tenang sekarang? Saat Papa dilarikan ke rumah sakit.

"Pa, tolong hubungi Deka," pinta Mama.

"Mas Deka ...," gumamku. Aku baru saja menemukan lelaki itu di antara pikiran yang kalut. "Ma, biar aku aja yang menghubungi Mas Deka."

Pasutri Satu Bimbingan√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang