48. Deka: When I Look Into Your Eyes

3.4K 469 41
                                    

"Walaupun kamu nggak suka, tapi bukannya itu fakta, Ka? Kamu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Walaupun kamu nggak suka, tapi bukannya itu fakta, Ka? Kamu ... jelas-jelas tawaran Papa dan Mas Malik lebih baik buat masa depan Kiara."

Gue enggak bisa menampik kata-kata Mama yang paling membekas. Ya, benar! Fakta bahwa tawaran Papa Malik memang yang terbaik untuk masa depan Kiara, juga dengan keadaan gue yang jelas-jelas belum mampu menandinginya, tentu membuat perasaan gue berkecamuk. Menyetujui atau enggak? Dua kata yang terus berkelebat dalam kepala gue.

Saat Kiara melontarkan pertanyaan beberapa menit lalu, gue memilih membisu. Hal itu pula yang membuat Kiara enggak berbicara setelah kami pulang. Selepas turun dari motor, gadis berponi tipis itu hanya melengos masuk ke dalam rumah. Sementara gue hanya menghela napas dan bergegas keluar menuju rumah Papa Malik.

Sepasang kaki gue berdiri di depan teras rumah Papa Malik. Orang pertama yang menyambut gue adalah Mama. Wanita itu seakan-akan sudah menebak maksud kedatangan gue dan segera menawarkan masuk ke ruang tengah. Rupanya Papa Malik ada di sana. Duduk menikmati siaran televisi, tetapi begitu melihat gue, beliau langsung mematikan benda berlayar 21 inch itu.

"Tumben kamu ke sini sendirian. Kiara nggak ikut?" tanya Papa Malik begitu gue kelar menyalami tangannya.

"Nggak, Pa. Baru pulang dari kampus ngurus revisi sama buat yudisium."

Papa Malik mengangguk takzim, sementara Mama beranjak ke dapur. Meninggalkan kami berdua dalam kecanggungan yang amat kentara. Berhadapan dengan Papa Malik jauh lebih menegangkan daripada duduk di hadapan Papa Roni. Gue melirik Papa Malik yang entah sejak kapan mengamati tindak-tanduk gue.

"Jadi, maksud kedatangan kamu ke sini ... untuk membahas rencana Papa? Sudah memikirkannya dan setuju? Papa yakin, Ka, kamu pasti akan paham. Dulu Papa dan Mama juga kuliahnya beda kota. Buktinya kami bisa bersama sampai sekarang."

Maaf banget, nih. Namun, bukan ini yang ingin gue dengar. Kalimat apa pun yang bersifat menghibur dari Papa Malik, sama sekali enggak akan membuat gue terhibur. Keputusan gue sudah bulat dan hari ini gue akan mengutarakannya.

Sebelum berbicara, gue mengepalkan tangan di bawah meja. Mengumpulkan keberanian untuk membalas tatapan Papa Malik yang seakan-akan menelan gue bulat-bulat. Deka! Lo harus berani! Gue berusaha meneriaki diri sendiri.

"Pa, sebelumnya aku sangat berterima kasih karena niat baik Papa yang ingin membiayai pendidikan Kiara. Aku tentu sangat mendukung apa yang Kiara inginkan, tetapi kalau Papa ingin dia kuliah di luar kota, aku nggak akan mengizinkannya."

Wajah Papa Malik yang tadi sempat melunak, kini berubah mengeras. Kedua matanya yang sayu pun menatap tajam ke arah gue. Belum selesai bicara pun, Papa Malik sudah terlihat sangat geram, apalagi kalau gue banyak bicara.

"Katakan kenapa kamu nggak memberikan izin?" Suaranya terdengar berat dan penuh ketidaksetujuan.

"Pertama, aku berhak memberikan izin ke manapun Kiara akan pergi. Kedua, di luar kota belum tentu akan membuat Kiara nyaman dan mudah beradaptasi. Ketiga, selama ini Kiara selalu mengerjakan tugas-tugas kuliah dengan cara memaksa dirinya, bahkan sampai sakit dan aku nggak mau itu terjadi saat dia nggak ada di dekatku.

Pasutri Satu Bimbingan√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang