Perasaanku sedikit lebih lega melihat Mas Deka beberapa hari ini selalu rajin ikut bimbingan. Semoga saja dia beneran serius dan tidak terkesan semangat di awal saja. Bu Nani juga sebenarnya tidak memberikan banyak perbaikan pada naskah kami. Namun, aku dan Mas Deka tetap rutin datang bimbingan sesuai dengan jadwal yang telah diberikan oleh Bu Nani.Pagi ini pun demikian. Aku dan Mas Deka baru saja tiba di gedung fakultas. Walau sesekali disapa teman-temannya, Mas Deka tetap melanjutkan langkah untuk bimbingan. Bagaimana aku tidak merasa senang? Sepertinya aku harus menceritakan hal ini pada Mama Ira.
"Hm, Mas ... kenapa lo nggak ikut teman-teman lo? Kayaknya bakal seru rame-rame begitu," kataku sambil melihat gerombolan teman Mas Deka yang sudah berlalu dari hadapan kami. Ada Mas Arga juga dan sepertinya lelaki itu menangkap kedekatanku dan Mas Deka beberapa hari ini.
"Mang boleh?"
"Terserah lo, lah. Mereka temen-temen lo."
"Dengar, ya, Cil. Kalau nongkrong sama temen bisa kapan aja. Tapi, kalau bimbingan gini? Lagian ini lebih berfaedah dan demi kelulusan gue."
Aku mengekeh pelan mendengar penuturannya. "Lo nggak mau jadi donatur kampus terus, kan? Atau bisa-bisa kalau kelamaan lo ditendang dari sini."
"Nah, itu lo tau." Mas Deka meraih tas berisi stopmap milik kami. "Yuk!"
Aku melangkah bareng Mas Deka memasuki lift yang akan mengantarkan kami menuju lantai prodi manajemen. Sementara ruangan sempit itu bergerak, aku sesekali mengamati profil Mas Deka. Tingginya yang tidak main-main membuatku harus mendongak penuh.
Acapkali aku merasa kalau situasi ini sangat unreal. Tetangga masa kecilku malah menjadi orang yang menemani hidupku sekarang. Hidup di bawah satu atap yang sama dan terikat karena akad pernikahan. Kadang-kadang ketika aku berusaha memikirkannya lagi, semua terasa demikian lucu.
Orang yang tidak pernah aku harapkan sama sekali, justru kini malah menjadi seseorang yang selalu menyapa penglihatanku dua kali dua puluh empat jam. Bohong kalau aku cepat terbiasa, sekali waktu saat terbangun pagi hari, aku masih kaget karena Mas Deka yang terlelap di sisi kiri kasur. Baru sekian detik kemudian aku ingat kalau dia ternyata sudah sah menjadi suamiku. Kalau saat masih kecil dulu, aku mungkin tidak akan kaget karena faktanya Mas Deka sering ketiduran di rumah karena bermain dengan Mas Sadam.
Namun, sekarang sudah berbeda cerita. Kami beranjak dewasa dan sempat tidak akrab. Jauh berbeda dengan masa kecil kami. Makanya sampai detik ini aku masih sering kagok melihat Mas Deka setiap kali bangun tidur. Tidak cuma itu, Mas Deka sering pamer aurat membuatku istigfar berkali-kali. Kadang-kadang cuma pakai baju singlet doang, bikin aku geleng-geleng kepala. Pernah sekali dia bertelanjang dada keluar dari kamar mandi. Bagaimana aku tidak kaget?!
"Udah sah, jadi nggak usah sok kaget begitu." Dia berkomentar demikian kala itu dan aku pun mulai terbiasa kalau Mas Deka tertidur tanpa baju dengan alasan gerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...