54. Deka: Kabar Buruk

3.4K 417 13
                                    

"Kalau aja saya punya anak cowok, udah saya bicarakan sama Pak Malik biar bisa dijodohkan dengan Kiara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau aja saya punya anak cowok, udah saya bicarakan sama Pak Malik biar bisa dijodohkan dengan Kiara. Wong, anaknya berbakti, rajin, udah begitu sopan banget. Pengin saya jadikan mantu."

"Bu Ira dan keluarga Pak Malik, kan, dekat. Apa  nggak mau besanan aja?"

Sebenarnya dari dulu Kiara sudah menjadi pembicaraan ibu-ibu komplek yang berbelanja di depan gerobak sayur. Gue sering mencuri dengar obrolan mereka saat berangkat sekolah ataupun kuliah. Seringnya memang Mama dan mamanya Kiara-lah yang digoda oleh mereka. Dahulu gue selalu berpikir malau hal-hal semacam perjodohan adalah hal konyol yang enggak akan pernah terjadi dalam hidup anak-anak Papa.

Walaupun gue dan Kiara sekarang menikah bukan karena perjodohan, tetapi hidup di atap yang sama adalah sesuatu yang enggak pernah terlintas dalam benak gue selama ini. Sepasang suami-istri? Saling mencintai? Atau bahkan kelak menjadi orang tua? Gue benar-benar enggak pernah sekadar berpikir kalau suatu saat Kiara akan menjadi bagian dalam hidup gue dan menjadi sosok yang sangat berharga.

Sayangnya, takdir berkata lain dan kami sadar enggak bisa menjauh dari ketetapan itu. Seiring berjalan waktu, banyak hal yang gue syukuri. Meski menghadapi Kiara berkali-kali rasanya ingin menyerah, tetapi kali ini dia sungguh menjadi seseorang yang sangat berarti.

Ada banyak hal yang membuat gue bersyukur karena kehadiran Kiara. Termasuk hari ini, tepat di mana kami benar-benar akan segera keluar dari kampus. Andai saja gue dan Kiara enggak dipertemukan menjadi sepasang dalam pernikahan ini ... akankah kami bisa menjadi seperti saat ini.

"Selamat, Kiara, Bang Deka! Gue seneng akhirnya kita lulus bareng. Aduh, rasanya gue pengin nangis karena ngebayangin bimbingan bertiga."

Erina, gue, dan Kiara baru saja selesai mengikuti yudisium. Kami dinyatakan lulus dan tidak sabar untuk mengikuti acara seremonial wisuda tahun ini. Ekspresi Kiara yang sangat bahagia sangat kentara. Sejak tadi gue bahkan enggak bisa mengalihkan tatapan darinya.

"Gue seneng banget, Mbak. Gue ...," kata Kiara. Suaranya malah menghilang sesaat setelah mendongak sambil mengipas wajah sendiri. "Mbak Erin!" Kiara langsung menghambur ke pelukan Erin dan menangis di sana.

Ada gue, tetapi malah dianggurin. Kedua perempuan yang tingginya nyaris sama itu pun saling memeluk di depan gedung auditorium. Erin terus mengusap-usap punggung Kiara dan demikian juga air matanya yang tidak berhenti keluar.

"Gue boleh ikut pelukan nggak, sih?"

Suara gue membuat keduanya berhenti menangis. Erin yang lebih dahulu mengurai pelukan itu. Dua pasang mata yang terlihat basah itu membuat gue meringis. Namun, gue enggak peduli dan memilih mendekati Kiara, lalu memeluknya dengan erat.

"Mas, apaan, sih? Lepasin nggak? Malu dilihatin orang," protesnya.

"Lebih malu mana? Pelukan sama pacar yang belum halal apa suami yang udah halal?"

Pasutri Satu Bimbingan√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang