Gue menguap lebar-lebar begitu secercah sinar mentari menerpa wajah. Buru-buru bangkit karena tiba-tiba perut terasa keroncongan. Selesai melakukan ritual di kamar mandi—mandi pagi maksudnya—lantas gue keluar dari kamar. Pemandangan pagi yang menyapa gue adalah Kiara sedang duduk di ruang tengah sambil fokus melihat layar laptop.
Tangannya sesekali menyendok semangkok sereal dan mengunyah dengan mulut yang penuh. Gue menengok ke arah meja makan, kosong. Ini bocil satu kenapa enggak peka banget? Minimal pikirkan perut orang lain juga. Sialan, gue hampir lupa kalau dia enggak bisa memasak.
"Ki, lo nggak masak, ya?" tanya gue iseng sambil duduk di sofa. Sementara Kiara duduk lesehan bersandar di kaki sofa.
"Kata lo masakan gue nggak enak."
"Ya, lo bikin apa, kek."
Kiara menghentikan tangannya yang sedang mengetik. Masih menahan kunyahan, gadis berponi itu mendongak hanya untuk melihat gue. Biar dia lihat sekalian wajah gue yang sepagi ini udah jengkel enggak karuan.
"Mas, mau sereal?"
"Kenyang nggak?"
Dia mengedikan bahu. "Nggak tahu, tergantung perut kali. Kalau mau, bikin aja sana. Masih banyak, ada di laci kedua itu. Jangan diberantakin."
Kayaknya gue sudah bikin dosa besar di masa lalu, sampai harus menikahi cewek enggak peka kayak Kiara.
"Gue nyari makan di luar aja."
Alih-alih menahan, dia malah mengangguk. Entah kenapa gue kesel banget. Baru bangun, lapar, enggak ada makanan, mana punya istri enggak peka begini. Ya, Tuhan!
Ketika gue kembali menjatuhkan tubuh ke sofa, Kiara mendongak lagi. Ekspresinya menampilkan heran yang kentara, tetapi gue masih pasang wajah jengkel.
"Lo kalau nggak ada kerjaan mending bantu Papa Roni bersihin pot di depan. Sekalian cabut rumput di tembok pembatas, udah mulai tinggi rumputnya."
Enak banget gue yang disuruh-suruh. Lama kelamaan ini bocil melunjak juga. Sedangkan dia masih asyik mengunyah dan fokus mengerjakan hasil konsultasi dengan Pak Hamdan kemarin.
Jengkel melihatnya terus mengunyah, gue iseng menendang lengannya sampai sereal di sendok yang sedang ia angkat tumpah mengenai meja dan lantai. Bahkan sampai kena baju tidurnya yang super girly berwarna merah muda bergambar si ngeselin, Dora. Sungguh cocok banget Kiara disandingkan dengan Dora rambut pendek ngeselin itu.
"Mas!" Dia langsung menyalang bahkan bergerak hendak memukul gue dengan sendok. "Kalau mau, bikin sana."
"Bikinin, dong."
"Lo punya kaki dan tangan sendiri."
"Astagfirullah." Gue mulai sedikit mendramatisasi sambil mengelus dada. "Durhaka kepada suami hukumannya sangat berat, Ki."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...