Terhitung sudah hampir satu minggu lebih gue mendapat gelar yang mungkin diinginkan kebanyakan cowok di dunia ini. Sekarang gue adalah seorang suami. Ingat, ya! Su-a-mi. Eja itu baik-baik. Suami di usia dua puluh empat tahun.Apa ini karma karena selalu menunda mengerjakan tugas akhir sebagai syarat segera pergi dari kampus? Apa dosa besar gue di masa lalu sehingga di usia semuda ini sudah mendapat gelar suami? Boro-boro mendapat gelar dari kampus tercinta, malah mendapat gelar dari penghulu.
Mahardika Sadajiwa sudah sah menjadi seorang suami dari Kiara Purnama Lestari. Ngeri banget gue.
Katakan siapa yang enggak mau menikah? Namun, bukankah menikah sebaiknya ketika sudah benar-benar siap dari segi fisik, mental, dan finansial, dan banyak hal? Lalu, dengan bangga gue mengakui ketidaksiapan dalam diri ini.
Gue masih suka main-main. Melakukan apa pun yang gue suka di luar sana. Kalau libur lebih suka jalan-jalan sehingga beberapa kali suka kalap. Hal itu yang bikin kelulusan mahasiswa Manajemen ini tertunda.
Telinga gue sudah hafal banget omelan nyokap-bokap. Dari dua bersaudara, gue yang paling bebal. Amerika menjadi pilihan si sulung setelah menikah. Juga setelah memaki gue dengan kata tolol berkali-kali sejak insiden di rumah Om Malik.
Berbanding terbalik dengan adiknya yang jalan di tempat, dia sudah bisa membeli sebuah flat di sana dan membiayai kehidupan istrinya dari gaji sebagai pegawai tetap di sebuah perusahaan e-commerce. Sementara gue sibuk bekerja paruh waktu dan lalai terhadap tugas kuliah. Padahal papa selalu bilang untuk fokus ke pendidikan.
"Kenapa balik sendiri? Kiara mana?" Suara Mama Ira langsung menyapa begitu mesin motor mati di halaman depan rumah.
Rumah berlantai satu, bercat cokelat di samping rumah gue adalah rumah yang ditempati Papa dan Mama. Rumah kami hanya dibatasi oleh tembok setinggi dua meter dan sebagian biaya rumah tersebut berasal dari tabungan dan hasil kerja gue. Sebagian lagi ditambahkan oleh papa.
Sejujurnya gue enggak mau tinggal terpisah, walaupun dekat, dengan mereka. Namun, Papa bilang rumah itu sedang dilelang dengan harga diskon, jadi kami sepakat membelinya. Walaupun sebenarnya gue jarang pulang ke sana, paling kalau malam hari. Namun, setelah menikah semua berbeda.
"Nggak tahu, di belakang kali."
"Ya, ampun! Ini udah Magrib. Kamu santai banget, Mahardika. Kenapa nggak pulang bareng? Yang begini aja masa harus diajarin?"
"Dia yang mau, masa aku maksa?"
"Cari dia sekarang!"
Sebenarnya di sini yang punya status anak kandung adalah gue atau Kiara? Sejak menikahi bocah itu selalu gue yang diperbudak. Kayak misal jemput dia kalau belum pulang, entah ke rumah teman, kampus, atau kegiatan lain. Padahal Kiara bilang malas melihat gue terus-terusan. Sehingga kalau menjemputnya, gue selalu menunggu di tempat yang cukup jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...