Rumah Rafli sebenarnya ada di Jakarta, tetapi istrinya melahirkan di Bogor, rumah keluarga kedua orang tua Rafli. Sebenarnya gue setengah terpaksa buat ikut sama Mas Raja dan Mbak Nadira karena sejak beberapa jam lalu jalanan cukup macet.
Kami tiba di sana sekitar jam dua belas siang. Mas Andra-rekan kerja Mas Raja-yang menyambut kami. Ada Rafli dan beberapa keluarga yang lain juga. Gue enggak begitu akrab sama Rafli karena sebelumnya juga enggak saling kenal.
Tahu dia juga dari cerita-cerita Mas Raja sesekali waktu. Gue dengar dia menikah muda saat masih kuliah dan mengurus skripsinya. Bedanya dengan gue dan Kiara adalah Rafli dan sang istri menikah atas dasar rasa cinta.
"Oh, Deka ipar lo, Mas?" tanya Rafli saat kami duduk santai di teras rumah. Sementara Mbak Nadira bergabung dengan mama Rafli dan Mbak Bia-istrinya-di dalam sana.
"Iya. Suami adik gue yang sempat jadi cinta monyet lo."
Rafli tergelak mendengar perkataan Mas Raja. Dari sana gue tahu kalau Mas Raja yang lempeng abis, ternyata jago juga bikin orang ketawa. Padahal gue membayangkan kalau Mas Raja ngejokes, pasti raut mukanya tetap datar dan bikin joke-nya jadi garing. Ternyata gue salah besar.
Tangan Mas Raja menepuk-nepuk pundak gue. Seolah memperlihatkan; ini loh adik ipar gue! Adik ipar yang udah bikin malu dua keluarga sekaligus di hadapan warga. Yaelah!
"Ka, dulu waktu masih jadi tetangga, Kiara sering main sama Rafli. Waktu SD kalau nggak salah, sebelum keluarga gue pindah, ya?" tanya Mas Raja.
"Iya dan gue nggak nyangka Kiara udah nikah aja, Mas. Bukannya dia harusnya masih kuliah, ya?"
"Yah, sama kayak lo dan Bia."
Gue pengin banget nyaut kalau berbeda sekali. Ya, maksud gue adalah kami menikah atas dasar desakan kedua keluarga besar. Namun, gue hanya bisa senyam-senyum saat Rafli mengangguk paham.
"Masih untung lo nggak ngerawat bayi, Ka. Dulu gue sama Bia sempat ngerawat ponakan." Rafli geleng-geleng mengenang masa yang telah lewat. "Biarpun bukan anak sendiri, tapi capeknya nggak ketulungan. Bia, sih, yang lebih capek ketimbang gue. Lo juga pasti ngerasain, kan, Mas?"
Mas Raja mengangguk setuju. Dua bapak-bapak yang sedang mengadu curhatan dan gue terjebak di antara mereka. Untung Mas Andra enggak bergabung bersama kami di sini. Bisa-bisa pembicaraan kami makin jauh. Alhasil karena malas menyelami obrolan mereka terlalu jauh, gue cuma menyimak seadanya sambil mengisap rokok.
-Suami Satu Bimbingan-
Kiara merasa sudah baikan dan tetap ngotot ingin menemani gue pergi ke supermarket terdekat. Alasannya karena tidak mau berdebat lagi masalah belanja. Kami pun bertolak ke daerah Kemang. Jalanan sedikit macet, tetapi untungnya kami tidak terlalu lama di jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...