11. Kiara: Childfree Bikin Nyeri

5.3K 388 1
                                    

"Kiara istirahat aja dulu, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kiara istirahat aja dulu, ya. Jangan terlalu kecapekan. Kalau mimisan lagi, jangan ragu buat periksa ke dokter." Wanita yang sedang duduk di tepi ranjang adalah Mbak Sashi, seorang perawat yang tinggal enggak jauh dari rumah Mama.

Aku tidak tahu bagaimana Mas Deka mengadu pada Mama Ira tentang kondisiku sampai akhirnya Mama datang ke rumah dengan wajah super panik. Tadi pagi ada Mbak Nadira juga, tetapi karena aku menyuruh mereka untuk tidak terlalu panik, akhirnya Mbak Nadira berpamitan karena ada acara juga di sekolah anaknya.

Mama masih stay di sampingku saat Mbak Sashi bergerak membereskan beberapa peralatan yang digunakan untuk memeriksaku tadi. Aku ngotot tidak mau ke Puskesmas dan karena Mama juga tidak tahu harus bagaimana lagi membujukku, akhirnya beliau memanggil Mbak Sashi yang kebetulan sedang free hari itu.

"Ini beneran dia nggak punya penyakit parah, kan, Sas?" tanya Mama masih terdengar panik.

"Kiara kecapekan, Tante. Tensinya juga kurang. Aku saranin kalau nanti Kiara mimisan lagi, langsung ke rumah sakit aja." Mbak Sashi melirikku yang bersandar di tembok kamar. "Istirahat, ya, Ki. Semoga cepat sembuh."

"Terima kasih, Mbak."

Mama Ira yang juga ada di sana langsung mengantar Mbak Sashi keluar dari kamar. Tersisa aku dan Mama yang saling beradu pandang. Mama dengan tatapan prihatinnya dan aku yang berusaha tersenyum agar dia tidak khawatir.

Kupikir setelah dikompres kemarin, demamku akan menghilang. Ternyata perkiraan itu salah besar. Sampai subuh pagi, aku masih merasa mering dan demamku makin tinggi. Aku tidak tahu Mas Deka terjaga atau tidak, tetapi yang jelas dia tidur di kursi sambil meletakkan kepalanya di meja belajar. Apa dia menjagaku?

Ah, apa sih yang aku pikirkan?

"Ki, kamu ngapain aja sampai bisa kelelahan begini? Kamu begadang juga, ya, buat ngurus skripsian?"

"Nggak begitu, Ma."

"Jangan bohong. Deka udah cerita ke Mama. Jangan terlalu dipikirin ucapan papamu, ah. Pelan-pelan aja yang penting kamu lulus dan kesehatanmu oke. Kalau kayak gini, kan kamu rugi juga. Kesehatanmu yang jadi korbannya."

Aku menggigit bibir yang terasa kering. Demam dan pusing menyerangku dalam waktu bersamaan. Ke mana saja aku sampai tidak sadar kalau beberapa hari ini terserang gejala darah rendah?

"Kamu nggak ngerasain hal lain juga, kan?" sambung Mama.

"Maksud, Mama?"

"Ya, semacam mual atau sering muntah gitu. Kamu nggak pernah telat dateng bulan, kan?"

Astaga! Rasa pening menghantam kepalaku berkali-kali lipat karena pertanyaan Mama. Bisa-bisanya dia berpikir aku memiliki gejala seperti itu. Aku hampir tertawa, tetapi sadar terlalu lemah untuk melakukannya. Jangankan tertawa, senyum saja membuat kepalaku rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum.

Pasutri Satu Bimbingan√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang