49. Kiara: Enggak Salah, Kok.

3.4K 398 47
                                    

"Nggak salah, kan, kalau gue jatuh cinta sama istri gue sendiri?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nggak salah, kan, kalau gue jatuh cinta sama istri gue sendiri?"

Pertanyaan macam apa itu? Mendengarnya membuatku mematung sesaat. Masih mempertahankan posisi yang tengah berbaring di sofa. Sementara kedua mata Mas Deka jelas-jelas tidak beralih dariku. Aku pun sama, tidak ingin melepas pandanganku darinya. Tatapan Mas Deka membuatku makin tidak ingin pergi. Ya, hanya ingin di sini bersamanya.

Setiap sudut pikiranku berusaha mengartikan pertanyaan barusan. Jatuh cinta? Mas Deka mencintaiku? Begitu? Apa baru saja dia mengutarakan isi hatinya? Rentetan pertanyaan itu mengusikku di tengah aksi tatap-menatap kami.

Selang beberapa saat, Mas Deka mengakhiri tatapan itu. Ia menggaruk belakang kepalanya sambil tersenyum canggung. Aku menggigit bibir, berpikir keras ... apa yang sebaiknya aku katakan atau lakukan?

"Sori, Cil. Kalau lo nggak suka dengar pertanyaannya, ya udah ... lupain aja."

Mas Deka hendak bergerak mundur dari posisi duduknya, tetapi aku langsung bangkit. Entah dorongan keberanian dari mana, aku malah memeluk lehernya tanpa izin. Membiarkan lelaki itu sedikit terkejut. Namun, tidak urung membalasnya dengan memeluk erat pinggangku.

"Nggak salah, kok," gumamku di telinganya.

"Gue nggak mimpi, kan, Cil? Kenapa lo nggak marah? Bukannya lo nggak suka kita kayak gini?"

"Lo mau gue marah?"

Mas Deka malah tergelak pelan dan menarik gue yang hendak menjauh darinya. Entahlah, sejak kapan kami menjadi makin sedekat ini. Aku tidak merasa canggung lagi setelah mendapatkan pelukan darinya. Seiring berakhirnya lagu Firehouse yang sempat mengudara, Mas Deka melepas pelukan kami. Aku duduk di sofa, sementara dia masih bersila di karpet beludru.

Sial! Mengapa aku malah merasa sedikit canggung. Kedua pipiku mendadak terasa menghangat. Apalagi kalau bukan karena Mas Deka yang tidak berhenti menatapku lamat-lamat. Aku memberanikan diri membalas tatapannya. Senyum lelaki itu tidak pernah hilang dari bibirnya yang kian menipis.

Mas Deka berlutut di hadapanku, mendekatkan wajahnya yang membuatku diserang gugup. Apa-apaan ini? Degup jantung bertalu seiring dengan jarak kami yang makin terpangkas. Ia menyelipkan jemarinya di antara celah jemariku, menggenggamnya dengan erat. Gilaaa! Boleh aku teriak saja, enggak?

Refleks, aku memejam saat wajah kami berjarak beberapa senti. Mungkin satu gerakan lagi dari Mas Deka benar-benar akan membuat kami berciuman untuk yang kedua kali. Sayangnya ....

"Deka!"

Bahana itu membuatku spontan mendorong Mas Deka sampai tersungkur ke belakang. Punggungnya membentur kaki meja, berhasil membuatnya mengaduh. Aku meringis melihat Mas Deka yang menatap sinis karena ulahku. Ya, ampun! Memalukan sekali.

"Ups, maaf! Sepertinya Mama datang di waktu yang nggak tepat."

Aku melirik Mama Ira yang berdiri di ambang pintu sambil membekap mulut dramatis. Sebelum dia pergi, aku buru-buru mendekatinya. Membuat deham singkat melewati Mas Deka dengan rasa bersalahku. Mama lebih penting sekarang karena aku lagi tengsin banget ini!

Pasutri Satu Bimbingan√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang