Ada yang aneh. Ini firasat bukan sembarang firasat, tetapi gue yakin tingkah Kiara hari ini agak berbeda. Sejak gue pulang dari kampus, dia banyak tersenyum tipis. Belum lagi hidungnya yang terlihat memerah, mungkin sakit? pikir gue beberapa jam lalu. Saat gue mengutarakan rasa heran itu, Kiara malah berkata nggak apa-apa.
Kebiasaan! Kalau ditanya, jawabannya enggak apa-apa. Berpedoman pada kamus cewek—entah siapa yang memulainya—gue yakin kalau jawaban Kiara berarti sebaliknya. Tadi saat makan malam pun, dia tidak menghabiskan makanan, padahal gue tahu dia ini bukan tipe orang yang makannya sedikit.
Sekarang kembali lagi—ini yang makin menambah rasa curiga gue—dia duduk di kursi rotan depan jendela kamar. Termenung menatap lurus tembok pembatas rumah tetangga, seakan-akan itu sangat menarik. Ayolah! Lebih menarik mana, melihat tembok atau melihat wajah suaminya yang tampan ini?
"Cil, apa ada masalah?" tanya gue sesaat setelah mendekatinya. Menyampirkan handuk kecil di pundak yang gue gunakan untuk mengeringkan rambut saat keluar dari kamar mandi.
Kiara mendongak, lantas kedua alisnya menukik tajam. "Handuknya jemur dulu!"
"O-oh, lupa." Gue nyengir lebar sebelum berlari ke luar kamar untuk menjemur handuk.
Begitu gue kembali ke kamar, Kiara masih duduk di kursi rotan. Kini mengangkat kaki sambil mendekap kedua lutut. Inisiatif kecil muncul di otak gue yang lumayan jenius-anggap saja begitu. Gue membawakan selimut dan menyampirkan di pundaknya. Kiara lagi-lagi mendongak. Bagaimana? Apa gue sekeren itu? Romantis, bukan?
Sebab tidak ada kursi di sana, gue terpaksa duduk di kusen jendela. Memperhatikan Kiara yang kembali fokus pada lamunannya. Detik demi detik terlewat, gue berusaha menunggu sampai dia mau menceritakan isi pikiran. Namun, agaknya ... tidak untuk malam ini. Alhasil, gue yang pertama kali bersuara.
"Cil, kalau ada masalah bilang aja. Lo nggak lupa kita udah sepakat untuk hidup selayaknya suami-istri, kan? Salah satu hal yang kita perlu kita jaga agar rumah tangga ini baik-baik aja adalah komunikasi. Lo pasti lebih paham dari gue."
"Gue nggak apa-apa, Mas. Cuma capek dan memikirkan langkah kita selanjutnya. Gue nggak nyangka kita bakal lulus bareng."
Kedua sudut bibir gue terangkat, mengulas senyum sumir. Jawaban dia enggak memuaskan rasa penasaran gue. Rupanya enggak akan mudah mengajak Kiara untuk bersikap seperti suami-istri yang menikah dengan melibatkan cinta.
Baiklah. Gue pun enggak mau memaksa. Walaupun gue penasaran karena enggak biasanya dia akan bersikap seperti ini. Gue tahu hal-hal yang bikin dia jadi murung begini, pasti tugas akhir. Namun, gue malah enggak berhenti khawatir walaupun dia mengatakan alasannya adalah capek dan banyak pikiran karena skripsi.
Apa lo menyembunyikan sesuatu, Cil?
"Oh ya, hari ini kenapa nggak ke kafe, Mas?" tanya Kiara mengalihkan pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...