Kiara menepis tangan gue setelah kami menjauh dari Arga. Sejak kejadian semalam, jelmaan Dora ini kembali menghindar—persis seperti yang sudah-sudah. Gue sebenarnya enggak heran karena sikap Kiara hari ini. Sudah di luar prediksi gue kalau dia bakal menghindar. Gue pun enggak bisa bohong kalau rasa canggung benar-benar memerangkap kami sejak semalam.
Namun, pagi tadi—entah bagaimana ceritanya—Kiara malah tidur dalam dekapan gue. Sebenarnya, gue sadar kalau dia terbangun. Sebab, saat itu gue juga sudah bangun, tetapi pura-pura memejam. Awalnya Kiara berusaha untuk melepaskan diri, tetapi sekian detik terlewat, dia malah betah dalam posisi itu. Kalau gue enggak salah ingat, dia beranjak selama beberapa menit setelahnya, itu pun karena gue ikhlas melepaskan dia untuk bangkit lebih dahulu.
Pagi tadi gue enggak menemukan Kiara di rumah. Walaupun gadis itu enggak lupa membuat sarapan. Secarik kertas kecil teronggok di atas meja makan, berisi tulisan tangan Kiara.
Mas, gue berangkat duluan. Jangan lupa abisin sarapannya.
Kedua sudut bibir gue terangkat sempurna membaca pesan itu. Walaupun sebenarnya gue tahu hal tersebut dilakukan Kiara sebagai bentuk menghindar. Bukan hanya Kiara yang masih kaget dengan kejadian semalam, tetapi gue juga. Kewarasan gue seakan-akan ditarik paksa tatkala mengingat ciuman kami memang nyata. Sampai detik ini, gue masih merasa seperti mimpi.
"G-gue duluan, Mas. Ada janji sama Hilda," ucap Kiara setelah sekian detik kami diselimuti senyap.
Tersadar dari lamunan, gue mengejapkan mata beberapa saat. Jelas sekali Kiara terlihat menghindar dari tatapan gue. Dia terlihat lebih memilih menatap ke arah lain. Pun, gue merasa ini benar-benar sangat canggung. Gue hanya bisa mengangguk, enggak mau memaksa untuk terus bersama Kiara hari ini.
Kalau gue menahan langkahnya, bisa-bisa gadis itu marah. Oh, atau mungkin memang sudah sangat marah? Akhirnya gue membiarkan Kiara berderap pergi. Punggung gadis itu makin mengecil karena jarak. Gue tersadar dari lamunan, mengusap wajah beberapa kali sebelum bergerak kembali ke perpustakaan.
"Gue bahkan nggak melakukan hal yang bikin nambah dosa. Tapi, kenapa rasanya ... gue nggak enak ke Kiara, ya? Apa dia marah? Ah, masa? Semalam dia nggak nolak, kok." Sepanjang jalan gue terus memikirkan sikap Kiara. Takut kalau benar-benar dijauhi sampai berhari-hari karena kejadian semalam.
Ketika sepasang kaki ini tiba di teras perpustakaan, gue melihat Erin masih duduk di bangku panjang depan ruangan itu. Gue buru-buru mendekatinya. Erin mengernyitkan dahi begitu melihat gue duduk di samping kanan.
"Lo kenapa, Bang? Muka lo lesu amat kayak Kiara." Sedetik berikutnya, cewek ini malah berkata, "Ah, abis 'kerja bareng', ya?"
Apaan coba? Walaupun sebenarnya gue tahu jalan pikiran Erin yang mendadak kotor. Gue cuma menggeleng dan kembali menghela napas. Entahlah. Sikap Kiara kali ini membuat gue merasa enggak siap bertemu dia lagi di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...