Sebenarnya ketika gue berkata ingin ke tempat Rega untuk mengantar motor, itu tidak sepenuhnya benar. Gue berniat untuk memenuhi undangan dari mamanya Jane. Namun, karena akhir-akhir ini Kiara lagi sensitif banget mendengar nama Jane disebut, gue terpaksa berbohong. Bisa saja gue pergi tanpa meminta izin darinya, tetapi pikiran waras gue masih mengingat bagaimana Kiara meminta izin untuk pergi ke acara launching coffee shop Arga.Petang beranjak dan azan Magrib baru saja mengudara. Gue sudah kelar mandi dan menyelesaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Berangkat ke tempat Jane lebih awal akan membuat gue pulang cepat, jadi tanpa ingin membuang waktu lagi, gue segera bersiap-siap.
"Lo jadi pergi ke tempat Mas Rega?"
Suara si Jelmaan Dora membuat gue memutar tumit. Aroma parfum black opium memenuhi rongga hidung tatkala gue menyemprotkannya beberapa kali. Terlihat Kiara batuk-batuk sambil mengibaskan tangan. Perempuan berponi tipis sudah berdiri sambil bersandar di daun pintu.
"Jadi, lah."
"Rapi bener. Padahal bengkel Mas Rega nggak jauh juga dari sini, loh. Penampilan lo udah kayak mau ngapel aja."
Gue mengekeh, tetapi nyeri merambat dalam dada. Betul sekali, Adik-adik. Ini bukan semata gue pengin ke tempat Rega saha. Kiara pintar banget curiganya. Gue bingung apakah harus salut atau takut.
Dengan cuek gue melangkah mencari kemeja flanel di lemari. Pasti Kiara lagi mengamati cara gue mengambil baju. Dengan hati-hati, sesuai prosedur yang sering dijelaskan, gue mengambil baju dengan cara diangkat, bukan ditarik. Ogah mendengar Kiara mengomel terus-menerus.
"Lo beneran mau ke tempat Mas Rega, kan?"
Gue yang tengah membenarkan lengan kemeja flanel pun mengangguk takzim. Kaus putih yang bersembunyi di balik kemeja kembali gue semprotkan parfum. Dari sudut ekor mata, bisa gue lihat tatapan Kiara yang penuh praduga.
Iseng, gue mendekat, mengikis jarak antara kami sampai Kiara mengerjap kaget. Benturan tangan gue dan daun pintu membuatnya makin tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Dari jarak yang sangat dekat, gue bisa melihat mara Kiara yang membulat sempurna.
"Lo mau ngapain?" Terdengar panik nan ketus.
"Udah mulai curiga sama gue, ya, sekarang? Takut gue kelayapan cari cewek lain?".
Dengan sekuat tenaga, cewek boncel ini malah mendorong dada gue sampai jarak kami tidak sedekat tadi. "Jangan sembarang lo, ya! Kalau mau pergi, pergi aja sana. Ngapain gue harus takut segala? Eh, Mas dengar ya, gue nggak peduli lo mau ke rumah siapa pun atau cewek mana pun! Mau ke rumah Jane juga gue nggak peduli!"
"Padahal gue nggak ada nyebut Jane, dah. Lo akhir-akhir ini selalu bawa nama Jane. Sensitif amat kalau gue bahas Jane. Cemburu lo, ya?"
"Nggak!" Kiara berseru tak suka. Mukanya ditekuk parah dan berdecap sebelum melangkah meninggalkan gue ke ruang belajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...