Hari-hari biasa aku mungkin berangkat dengan Mas Deka. Tiada yang peduli ataupun memperhatikan dengan demikian saksama. Hari ini justru berbeda. Tatkala sepasang kaki kami mencapai lantai tiga, beberapa mahasiswa melirik. Aku tidak pernah suka menjadi pusat perhatian. Namun, berkat citra Mas Deka yang punya banyak kenalan sana-sini. Mungkin di setiap angkatan, kalau aku boleh berlebihan. Kami pun acapkali dilirik saat tiba di prodi.
"Nggak usah dipedulikan. Anggap aja mereka sekumpulan patung," bisik Mas Deka dengan enteng. Padahal aku sudah gugup banget.
Pasang demi pasang mata itu seakan menghakimi kami. Padahal aku dan Mas Deka tidak membuat hal yang salah, kok?. Jadi, mau tidak mau, aku bersikap cuek seperti biasa. Mengabaikan tatapan mereka dan berusaha menerima bahwa hubungan pernikahan kami memang sudah bukan rahasia lagi.
Hari ini aku dan Mas Deka akan menyerahkan berkas yang diperlukan untuk mendaftar ujian proposal. Sebentar aja, kok, Ki. Abis ini lo bisa pulang dan nggak perlu melihat tatapan mereka. Aku berusaha menenangkan diri. Kami pun bergegas menuju prodi untuk mengurus keperluan pendaftaran. Sebenarnya tidak lama karena perlu menyerahkan berkas saja, sebab kami juga mendaftar secara daring.
Sekian sekon setelah urusan dengan pihak prodi selesai, aku dan Mas Deka berderap keluar. Tepat di depan prodi-lebih tepatnya di bangku besi-terlihat Mas Arga yang sedang duduk memainkan ponsel. Kehadiran kami menyita atensi lelaki berjaket jins itu. Seulas senyum terpatri begitu mata kami bertatapan. Aku membalas dengan senyum super kaku. Terlebih saat Mas Arga mendekati kami.
"Hai, Ki," sapanya dengan ramah.
"Kiara doang yang disapa? Gue kagak?" Mas Deka protes. Kata-katanya penuh penekanan.
Demi meladeni ucapan Mas Deka, lelaki yang memikul tas ransel hitamnya pun berucap, "Hai, Ka." Dia kembali melirikku. "Ki, gimana? Lo udah terima kopi dari gue, kan? Udah lo cobain?"
Aku meringis mendengarnya. Mencoba bagaimana? Wong, kopinya sudah diantar ke rumah Papa Roni semalam. Seujung lidah pun aku tidak pernah mencicipi kopi itu. Padahal jelas-jelas itu buatku. Semua gara-gara Mas Deka ... hm, apa katanya kemarin? Cemburu. Ya, ya, cemburu. Pipiku mendadak terasa panas.
"Bengong aja lo. Ditanya, tuh, Cil. Kopinya gimana? Enak nggak?" Suara menjengkelkan Mas Deka kembali terdengar. Dia memperlihatkan wajah datarnya dan berlalu begitu saja. Lengkap dengan siulan menyebalkan.
"E-eh, kopinya ... enak, Mas."
"Oh, ya? Mau gue kirimkan lagi ...."
"Mas, gue duluan, ya." Aku buru-buru memangkas ucapan Mas Arga. Ini nggak sopan banget. Cuma aku juga tidak mau diam di sana terlalu lama. Jadi, aku memilih berlari menyusul Mas Deka yang sudah tiba di anak tangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...