Aku mengenal Mas Deka bukan sehari-dua hari. Namun, aku sudah mengenalnya sejak kecil. Dia lebih banyak bercanda ketimbang serius. Namun, akhir-akhir ini aku selalu menemukan beberapa jejak keseriusan dalam nada bicara dan tatapannya. Seakan-akan aku sedang tidak melihat seorang Mahardika Sadajiwa.
Persis seperti saat ini. Tatkala sepasang mataku mencari jejak keseriusan dari kata-katanya. Aku menghitung dalam batin, kira-kira sampai hitungan ke berapa Mas Deka akan memperlihatkan tawa konyol atau ekspresi meledek. Akan tetapi, sekian detik membiarkan sepasang mata kami beradu, Mas Deka tidak melakukannya.
"Segitu cakepnya gue sampai lo nggak berkedip?"
Suara ngeselin Mas Deka langsung kuhaidahi dengan tinju pelan pada lengannya. "Nggak usah narsis lo."
"Siapa yang narsis? Dari dulu memang gue cakep. Gen nggak bisa bohong," katanya menyombongkan diri.
Aku hanya melengos karena malas melihat ekspresi pongahnya. Daripada meladeni Mas Deka, aku memilih berbaring dan menarik selimut. Membelakangi Mas Deka yang masih terkekeh melihat ekspresi kesal di wajahku. Detik berikutnya, lelaki itu menarik selimut yang sudah menutupi tubuhku dan ikut berbaring di sana.
"Lo masih kepikiran sama keputusan Papa?" tanya Mas Deka. Tanpa berbalik menatapnya, aku mengangguk takzim. "Besok gue coba bicara lagi sama Papa, deh. Semoga aja ada kabar baik dari Papa, Ki."
"Hm, gue juga berharap seperti itu, Mas."
"Oh ya, jadwal yudisium udah keluar, tuh. Tiap kali gue lihat jadwal, rasanya masih nggak nyangka bisa lulus tahun ini. Gue kira, gue bakal di-drop out. Thanks, Ki ... karena lo, gue bisa melangkah sejauh ini."
Lagi, aku menjawab dengan anggukan. Suara decakan Mas Deka pun mengudara. "Ki, emangnya lebih menarik lihatin pintu, ya, dari lihat wajah suami lo sendiri?"
Aku terkekeh pelan mendengar nada bicaranya yang ketus. Sebenarnya aku belum siap lagi menatap Mas Deka dari jarak yang sangat dekat. Bisa gawat kalau dia mendengar degup jantungku yang selalu tidak sopan, tanpa memberi aba-aba, malah berdetak lebih cepat. Mustahil aku bisa menyingkirkan fakta bahwa kami telah melewati malam itu, maksudku, malam di mana kami melakukannya.
Detik berikutnya setelah mengumpulkan keberanian, aku berbalik dan memandang Mas Deka yang langsung tersenyum lebar. Dahulu saat masih kecil kami sering berbagi tempat tidur di kamar Mas Sadam. Kadang-kadang Mas Sadam juga ikut tertidur kalau kami bermain sampai petang. Momen itu langka banget, soalnya aku dan Mas Deka jarang bertegur sapa dengan baik, kalau tidak sedang membujuknya untuk bermain air hujan.
"Tapi, gue beneran serius, Ki ... kenapa lo jadi secantik ini?"
"Kalau lo mau tetap nanya kayak gitu, gue nggak ada waktu. Mau tidur!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...