28. Deka: Ke Rumah Kita

3.7K 341 14
                                    

Pagi ini pun masih sama dengan hari kemarin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pagi ini pun masih sama dengan hari kemarin. Gue keluar dari rumah dan berjalan malas ke rumah Mama. Sebelum tiba di sana, sesekali gue melirik gerbang rumah keluarga Papa Malik. Masih tertutup rapat. Apa kata kedua mertua gue, melihat sang menantu enggak datang buat menjemput istrinya? Gue pengin ke sana, tetapi setelah perdebatan itu, Kiara malah ngotot enggak pengin dijemput. Alhasil, gue manut kali ini karena Kiara beralasan pengin menenangkan diri. Baiklah, gue bakal kasih waktu ke Kiara untuk apa yang diinginkannya.

"Masih belum pulang juga istrimu, Ka? Mbok ya dijemput, rumah kalian juga nggak sejauh jarak pluto ke matahari. Jangan bikin Malik dan keluarganya mikir yang nggak-nggak pada keluarga kita."

Suara menjengkelkan Papa membuat gue melangkah malas ke meja makan. Sarapan untuk kedua kali di rumah orang tua gue, pasti dijamin bakal dapat wejangan yang sama. Seperti hari ini, tiga hari lalu pun demikian. Gue duduk menghadap Papa yang telah menggulung koran pagi karena aroma nasi goreng buatan Bi Nuril sudah menyesakkan indra penciuman. Membuat perut kelaparan gue meronta ingin segera dimasukkan sesendok nasi.

Melihat meja makan, gue malah teringat Kiara. Apa ini pertanda gue lagi kangen karena akhir-akhir ini-jauh sebelum kami perang dingin-Kiara mulai membuat sarapan? Ya, ampun. Wajah Kiara yang kemarin tampak sangat marah malah berkelebat dalam kamuflase mata gue. Masih terbayang bagaimana dia membentak gue dengan tuduhan itu-bukan tuduhan sebenarnya, jelas-jelas gue masih sering berhubungan sama Jane.

"Pa, nggak usah sering diingatkan. Mama ini, lho, udah berkali-kali bilang ke dia. Jemput Kiara ke rumahnya. Kayak ndak tau aja lanangmu yang satu ini kayak gimana?" Mama ikut menceletuk sesaat setelah datang dari dapur dan membawakan minuman untuk Papa.

Kini gue sukses ditatap demikian ketus oleh orang tua gue sendiri. Seakan-akan dalam permasalahan ini, guelah yang paling salah. Padahal Kiara sendiri yang enggak mau pulang. Enggan merespons, gue hanya memilih diam sambil menikmati sarapan dengan tenang.

Diam-diam pikiran gue berkelana pada kejadian tiga hari lalu. Gue rasa ini memang cukup keterlaluan, gue memarahi Kiara karena pulang bersama Arga. Sedangkan gue tetap enggak tahu diri masih sering bertukar kabar dengan Jane. Ya, ampun! Gue merasa amat sangat brengsek. Mau bagaimana lagi? Jane selalu meminta tolong ke gue dan bagaimana bisa gue menolak saat tidak ada yang bisa dia andalkan?

"Ka, ini sudah tiga hari, lho. Kamu sampai kapan mau begini terus dengan Kiara? Mama dan Papa memang nggak tau bagaimana persisnya masalah kalian, tapi kami diam bukan berarti nggak memperhatikan, ya." Mama bersuara lagi setelah beberapa kali menyendok nasi gorengnya. "Atau ... kamu sama Kiara nggak diam-diam pisah, kan? Mama harap nggak ada hal buruk seperti itu!"

"Ya Gusti, Mama! Jangan kejauhan apa mikirnya. Nggak gitu, kok. Kiara aja yang belum mau dijemput, dia yang mencegah aku buat datang ke rumah Papa Malik. Ya, sudah kalau itu mau dia, aku harus apa? Dia bilang hanya ingin menenangkan diri."

Pasutri Satu Bimbingan√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang