Revisi gue kelar tepat saat jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari. Gue menguap lebar-lebar dan hendak beranjak tidur menyusul Kiara yang sudah terlelap sejak jam sembilan.
Namun, perut gue mendadak berbunyi. Tengah malam begini malah lapar. Syukur-syukur kalau ada mi instan di dapur. Gue menutup laptop dan bergerak keluar menuju dapur. Sialnya, persediaan kami sudah habis.
"Kenapa dia nggak ingetin gue, sih? Tahu gini harusnya belanja dulu."
Gue bergerak mencari makanan lain yang setidaknya bisa mengganjal perut. Hanya ada roti tawar di kulkas dan sereal di laci. Ya kali gue makan sereal jam segini.
"Apa ke rumah Mama aja? Jam segini kayak maling aja gue ngendap-endap ke sana. Pasti udah pada tidur." Gue sibuk bermonolog sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
Alhasil karena enggak bisa mendapatkan apa yang gue mau, gue memutuskan untuk kembali ke kamar. Tidur dan menahan lapar sampai besok. Ya, besok juga gue jamin enggak ada sarapan.
Sekali lagi, apa yang bisa gue harapkan dari Kiara?
Posisi tidur Kiara sudah berubah. Sungguh jauh berbeda dengan gue, Kiara tidur dengan tenang menyelipkan tangannya di bawah kepala. Tubuhnya terbungkus selimut dan enggak ada suara dengkuran halus seperti beberapa malam sebelumnya.
Bukankah sebagai lelaki harusnya merasa sedikit deg-degan melihat cewek tidur di atas ranjang gue setelah bertahun-tahun? Atau mungkin karena gue menganggap Kiara sudah seperti adik sendiri.
"Mas, ini jam berapa, ya?"
Suara parau Kiara terdengar saat gue baru saja akan merebahkan tubuh. Perempuan itu bangkit dan mengusap-usap matanya. Mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Jam satu. Kenapa lo bangun?" Padahal tadi tidur Kiara kelihatan nyenyak banget.
"Gue mau minum dulu."
Tubuh yang dibalut baju tidur bergambar kepala Dora itu melangkah keluar dengan gontai. Sepersekian detik, ia kembali masih dengan wajah super mengantuk.
"Mas, belum tidur, ya?"
"Ini gue mau tidur. Lo tidur lagi, deh. Bentar lagi subuh. Lo pasti nggak mau telat ketemu Pak Hamdan besok."
"Lo juga jangan telat, Mas. Kasihan Pak Hamdan nungguin. Kasihan gue sama Mbak Erin juga, kudu nunggu lama. Revisi kami nggak diperiksa kalau lo belum dateng."
"Iya, cerewet lo."
Gue kembali merebahkan tubuh dan bersiap untuk menyapa alam mimpi. Badan gue rasanya udah pegal-pegal karena seharian membantu Rega-salah satu teman yang membuka bengkel di dekat kampus-membongkar beberapa mesin mobil.
Belum lagi duduk berjam-jam menyelesaikan revisi dari Pak Hamdan. Walaupun gue yakin hasilnya enggak pernah sesempurna milik Kiara.
"Lo nggak tidur?" tegur gue saat berbalik dan melihat Kiara masih bersandar dengan mata terjaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...